Tantangan Kemajuan Industri Makanan Serta Dampak Gangguan Ginjal Bagi Anak
Oleh : Opini
Sabtu | 27-07-2024 | 19:24 WIB
Jastra-Putra1.jpg
Jastra Putra, Wali Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (Istimewa)

Oleh: Jastra Putra

Perayaan Hari Anak Nasional, Ikatan Dokter Anak Indonsia menyalakan lonceng keras, tentang 'persoalan besar' tentang anak-anak yang datang ke fasilitas cuci darah, bahwa 1 dari 5 anak mengalami ganguan ginjal.

Kita punya persoalan, di tengah kemajuan industri makanan, dan mudahnya mendapatkan makanan yang mengandung gula, lemak dan garam. Kemudian, menariknya kemasan makanan, jangkauan yang mudah (melalui gawai, medsos, pesan makan online).

Yaitu banyaknya anak anak yang datang ke fasilitas cuci darah. Karena mengkonsumsi gula, garam, dan lemak tanpa kontrol. Data tersebut di ungkap Ikatan Dokter Anak Indonesia di perayaan Hari Anak Nasional. Bahwa 1 dari 5 anak mengalami gangguan ginjal.

Tentu saja hasil penelitian para dokter anak di seluruh Indonesia, menjadi peringatan keras buat kita semua. Bahwa dengan perkembangan industri makanan, yang didukung perkembangan zat, kimia dan olahan makanan

Kemudian harga yang sangat murah, dan industri kemasan yang kekinian. Ternyata meninggalkan persoalan untuk anak anak kita, yang belum memahami komposisi gizi seimbang.

Ini juga tantangan besar, untuk lembaga pengawasan obat dan makanan kita, bagaimana menghadirkan uji lab makanan di tengah masyarakat. Agar ada pengawasan.

Kita juga berharap program makan gratis, tidak hanya bicara makanan, bagaimana ada mekanisme sistem yang bisa melindungi, mengendalikan industri makanan kita, melalui program makan gratis ke depan, sosialisasi gejala ginjal pada anak, bagaimana pengawasan makanan dan uji lab makanan bisa hadir di tengah masyarakat

Sebagai pencegahan dan deteksi dini, penting segera ada sosialisasi gejala sebelum terganggu ginjalnya dan cuci darah, kemudian konsumsi air putih yang perlu diperhatikan, mengurangi konsumsi zat pembuat manis, garam dan lemak.

Kita juga perlu membudayakan olahraga di keluarga, sekolah dan masyarakat, di tengah kurang bergeraknya anak karena gawai.

Di sisi lain, kita juga bicara perubahan iklim, yang mengubah perilaku anak, dan larinya banyak mengkonsumsi jajanan. Saya kira kemasan makanan sekarang jadi barang mewah, menjadi industry viral, dengan kemasan kemasan yang luar biasa menarik untuk anak.

Namun apakah di sana ada uji lab dan pengawasan? Nah, ini PR kita semua untuk memastikannya. Bagaimana memastikan lembaga BPOM juga memiliki jejaring kerja pengawasan obat dan makanan di tengah masyarakat, di lingkungan sekolah, lingkungan bermain anak.

Kita juga harus memperhatikan pesan para dokter tenang batasan konsumsi gula. Yang bila berlebihan, akan mempengaruhi suasana hati mereka, yang berujung mudah cemas dan reaktif. Sehingga ujungnya bersikap agresif. Yang menyebabkan anak tidak memiliki kecerdasan emosi, reaktif, berujung rentan, dan mudah mendapat perlakuan salah

Begitu juga tren tantangan makan pedas dengan level yang beresiko menganggu pencernaan dan memicu makan lebih banyak.

Sehingga kita membayangkan aktifitas anak-anak, yang lebih banyak di medsos, disrupsi informasi yang jarang bergerak. Dan dipicu reaksi konsumsi makanan berlebihan akibat reaksi rasa, seperti level pedas, asam, manis, asin yang melebihi batas normal.

Begitupun perilaku hidup konsumsi makanan berlebih tanpa banyak bergerak, tak mengenal waktu makan, yang menyebabkan obesitas dan gizi tidak berimbang.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan dalam riset memetakan berbagai indikator kesehatan pada masyarakat, salah satunya adalah prevalensi obesitas yang meningkat. Kita juga jangan lupa, negara kita masih berjuang menurunkan angka stunting yang tinggi.

Negara sendiri punya kebijakan UU Kesehatan tentang pengawasan dan upaya kesehatan masyarakat tentang pengendalian, pencegahan konsumsi berlebih gula, garam danlemak.

Kita juga bisa mendorong lembaga halal, untuk menjadi bagian pengawasan di masyarakat. Agar dipastikan ada pengendalian, pembatasan dan pemgaturan produk kandungan zat makanan.

Sehingga kita penting mengejar ketertinggalan pemenuhan hak kesehatan. Dalam rangka mempersiapkan modal kesehatan yang tinggi untuk masa depan anak anak kita.

Kita juga menghadapi persoalan makanan berperasa yang menggunakan zat kimia. Seberapa jauh pengawasannya?.

Kita juga menyayangkan industri candu juga menjadi industri yang seolah-olah seperti makanan. Dengan menghadirkan zat perasa atau dengan berbagai rasa. Ini sangat berbahaya, karena kandungan sesungguhnya berdampak mengerikan.

Maka sejauh apa negara mau mengatur, mengendalikan, memberi sanksi?. Karena tanpa ini kita akan gagal melindungi anak-anak. Karena mereka tidak tahu bagaimana proses makanan sehat. Yang mereka tahu makanan itu viral, jajanan itu viral, makanan kekinian, dimakan oleh figur yang ia suka.

Sehingga ketegasan pemerintah dalam pemgawasan obat dan makaman perlu terus ditingkatkan. (*)

Penulis merupakan Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)