Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Modal Cair
Oleh : Redaksi
Kamis | 25-07-2024 | 08:04 WIB
2507_stop-wach_0340934958.jpg Honda-Batam
Catatan Dahlan Iskan terkait dengan permintaan tambahan modal negara jelang berakhirnya pemerintah Jokowi. (Footo: Disway.id)

Oleh Dahlan Iskan


DI MASA injury time pemerintahan Jokowi ini proses permintaan penambahan modal negara untuk perusahaan milik negara seperti dipercepat.

Begitu banyak perusahaan negara yang minta tambahan modal. Semuanya harus lewat persetujuan DPR.

Kelihatannya DPR, yang juga hampir berakhir, ikut mempercepatnya. Cepat bertemu cepat --awas, bisa tabrakan.

Tidak akan tabrakan. Itu memang sesama cepat tapi searah. Hanya beda keinginan dan beda harapan.

Sebuah lembaga keuangan pun minta tambahan modal dari negara: Rp 10 triliun. Itulah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia --dulunya disebut Bank Ekspor Impor Indonesia.

Lembaga keuangan yang harusnya cari uang untuk negara, justru minta uang dari negara. Alasannya sangat idealistis: agar kapasitas pembiayaan untuk mendorong ekspor bisa lebih baik.

Memang, negara baru bisa maju kalau ekspornya kuat. Eksporter perlu dukungan dana. Dalam bentuk kredit. Maka dibentuklah LPEI. Mungkin untuk 'menyindir' bank umum milik negara: mengapa tidak cukup membantu eksportir.

Samar-samar saya menemukan alasan lain mengapa LPEI minta suntikan dana negara: kredit bermasalah di LPEI luar biasa besar. Akibatnya LPEI tidak cukup punya uang untuk bisa muter. Tidak ada lagi dana untuk mendorong eksportir yang perlu didorong.

Maka menarik membaca salah satu alasan agar permintaan PNM Rp 10 triliun itu dikabulkan DPR. Seperti cuci tangan. Ada kalimat yang bunyinya kurang lebih begini: direksi yang sekarang sudah bersih dari orang-orang yang terkait dengan dana-dana bermasalah di masa lalu itu.

Nilai yang bermasalah itu memang ngudubilah besarnya. Sekitar Rp 50 triliun. Akan diapakan uang bermasalah itu?

LPEI, katanya, lagi menjalankan empat jurus untuk menyelesaikannya. Misalnya: jurus mencarikan investor baru. Yakni untuk 35 perusahaan yang memacetkan kredit Rp 13,6 triliun.

Atau mengusahakan penjualan aset di 165 perusahaan untuk pengembalian dana Rp 19,6 triliun.

Atau, usaha strategi recovery (?) untuk 84 perusahaan dengan nilai Rp 16,5 triliun.

Lalu mengambil langkah hukum (?) untuk 15 perusahaan dengan nilai Rp 6 triliun.

Anda sudah tahu: semua itu tidak mudah. Tidak sederhana. Tidak bisa cepat. Hasilnya pun tidak sebanyak nilai yang disebut. Tapi janji itu harus dibuat agar PNM bisa cair. Bahwa nanti tidak terlaksana toh PNM-nya sudah telanjur diterima.

Itu bedanya dengan swasta. Di swasta mereka akan bekerja keras dengan taruhan hidup-mati. Di perusahaan negara ada jalan yang lebih mudah: minta tambahan modal dari APBN.

Maka uang APBN yang harusnya untuk membangun dipakai berbisnis. Kelak, kalau sulit lagi, tinggal minta PNM lagi.

Tentu berbeda kalau yang minta PNM itu perusahaan negara yang ditugaskan membangun jalan tol. Seperti Hutama Karya. Kelak jalan tol itu bisa dijual.

Tapi perusahaan seperti Asabri juga diberi PNM Rp 3,6 triliun. Pembiayaan Nasional Madani diberi Rp 3 triliun. Pelni Rp 2,5 triliun, LEN Rp 2,5 triliun. Rajawali Nusantara Rp 1,6 triliun. DAMRI Rp 1 triliun. Perumnas Rp 1 triliun.

Bagi perusahaan seperti Pelni, LEN, Rajawali, DAMRI dan Perumnas tentu punya alasan tersendiri untuk minta PMN. Tapi di lima usaha itu swasta sudah bisa mengambil alih. Tidak ada perusahaan negara di bidang-bidang tersebut pun negara akan baik-baik saja. Bahkan pun bila tidak ada LPEI. Biarlah tugas itu diambil bank umum yang manajemennya sudah terbukti hebat, seperti Bank Mandiri.

Tapi, yah, terserah saja. Apalagi kalau DPR juga cepat-cepat menyetujui --bahkan kalau bisa sudah cair sebelum Oktober.*

Penulis adalah wartawan senior Indonesia