Penjelasan Kepala BP Batam Terkait Terbitnya Perka 10/2019
Oleh : Nando Sirait
Jum\'at | 21-06-2019 | 11:52 WIB
2020202020_edy_bp01.jpg
Kepala BP Batam, Edy Putra Irawady. (Foto: Nando Sirait)

BATAMTODAY.COM, Batam - Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Edy Putra Irawady menyarankan agar perusahaan industri atau produsen tetap memasukkan barang mereka, walau saat ini Peraturan Kepala (Perka) nomor 10 tahun 2019 telah diberlakukan.

Edy menjelaskan, untuk rasionalisasi masterlist yang diatur lewat Perka BP Batam hanya berlaku untuk barang konsumsi. Sedangkan untuk kebutuhan industri tidak diatur. Edy juga mengaku, bahwa kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu dasar dikeluarkannya instruksi pemerintah pusat.

Namun, ia juga menolak adanya statement yang mengatakan BP Batam terkesan terburu-buru dalam menetapkan aturan baru, dalam hal ini Perka nomor 10 tahun 2019. "Gak tiba-tiba juga, sebenarnya pemahaman free trade zone (FTZ) ini terlalu luas. Yang harus dipahami adalah KPBPB ini adalah wilayah investasi dan ekspor, bukan konsumsi," ujarnya, Jumat (21/6/2019).

"Makanya di Perpu itu jelas, untuk barang konsumsi yang mendapat fasilitas dari negara ditetapkan oleh BP Batam dan diawasi oleh Bea Cukai. Artinya barang yang mendapat fasilitas FTZ ini hanya untuk kegiatan investasi bukan konsumsi," tambahnya.

Edy melanjutkan selama ini, sebenarnya Batam tidak memiliki masterlist untuk produsen. Berbeda dengan kawasan di luar FTZ, di mana masterlist resmi dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Namun selama ini, adanya hal ini diakui masih belum banyak dipahami oleh kalangan dunia usaha dimana mereka dinilai hanya melihat mengenai bahan baku dan barang modal.

"Misalnya industri kapal, kalau bahan baku pasti plat baja, cat. Sementara barang pendukungnya misalkan kompas untuk kapal. Nah untuk ini biasanya mereka hanya mengambil dari pedagang umum. Ini yang diatur kembali, karena industri kapal juga mengakui melakukan pembelian kompas pada saat produksi saja, kompas ini kan bukan barang konsumsi untuk umum," lanjutnya.

Edy juga mengakui, dari Nomor Induk Berusaha (NIB) yang masuk ke sistem perizinan terpadu, Online Single Submission (OSS), bisa mendeteksi langsung, mana yang termasuk perusahaan industri atau produsen, dan mana yang pedagang.

"Kalau pedagang, maka NIB-nya akan menyebut pedagang apa sesuai KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia), dan dapat master list. Kalau barang yang diimpornya bukan bidangnya, maka tetap bisa memasukkan barang, tetapi tak dapat fasilitas. Itu ketentuan di UU atau Perpu nomor 1 tahun 2000 dan PP nomor 10 tahun 2012. Kita juga ingin menghindari jangan sampai nanti produsen, ikut menjadi pedagang," kata Edy.

Walau begitu, dia juga menyatakan saat ini pemberlakuan cukai untuk item yang dikeluarkan dari mastelist, masih dalam proses penetapan dari pihak Bea Cukai. Di sisi lain dia juga mengakui adanya Perka ini, juga dimungkinkan untuk mendapatkan revisi setelah adanya penetapan dari pihak Bea Cukai.

Hal senada juga dilontarkan Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam, Tri Novianta Putra di mana sambil menunggu adanya keputusan Bea Cukai pusat, pihaknya masih membuka ruang untuk komunikasi bagi para pengusaha.

Dalam sosialisasi yang dilakukan, Kamis (20/06/2019) kemarin permasalahan yang mengemuka ialah perusahaan industri pemegang API-Produsen dan membuka anak perusahaan, sementara anak perusahaan diketahu memegang API-U.

"Silahkan sampaikan keluhannya lewat email yang sudah kita berikan. Permasalahannya apa. Ini sebagai bahan masukan kami, model bisnis terkait pelaksanaan perka ini. Karena dalam Perka 1.500an item barang yang dikeluarkan dari masterlist kebanyakan barang bahan penolong, bahan penunjang, bahan baku. Tetap bisa diimpor, masuk tetap seperti biasa, tak ada masalah. Tapi bayar bea masuk, dan pajak lainnya," tuturnya.

Terkait pencabutan fasilitas bebas pajak, dia mengakui, ada keterkaitannya dengan industri. Maka dari itu, BP Batam ingin mengidentifikasi satu persatu permasalahan yang dihadapi perusahaan. Agar jangan sampai industri terganggu akibat aturan ini.

"Sulit bagi kita memahami model bisnis perusahaan mereka. Karena ada beragam jenis model bisnis, dan setiap perusahaan beda-beda. Makanya kita minta perusahaan sampaikan lewat email, bisnis modelnya seperti apa," tutupnya.

Editor: Gokli