Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Buruh Sebut Jokowi Salah Arah Terkait Perpres TKA
Oleh : Redaksi
Kamis | 26-04-2018 | 17:16 WIB
buruh1.jpg Honda-Batam
Para buruh saat menggelar aksi demo. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kelompok buruh menilai Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) salah arah. Penerbitan perpres itu justru bisa menggerus elektabilitas Joko Widodo pada pilpres 2019.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai perpres yang ditandatangani Jokowi pada 26 Maret silam tidak berpihak pada tenaga kerja Indonesia dan memudahkan masuknya pekerja asing tanpa keterampilan atau buruh kasar.

Dia mempermasalahkan pasal 10 Perpres yang menyebutkan pemberi kerja TKA tidak wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) untuk mempekerjakan TKA yang merupakan pemegang saham dan menjabat sebagai anggota direksi, pegawai diplomatik, dan TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah.

Iqbal mengatakan visa tinggal terbatas (vitas) dan izin tinggal terbatas (itas) hanya dikeluarkan maksimal dua hari. Dia menilai percepatan itu akan mengganggu kesempatan kerja bagi tenaga ahli Indonesia.

Iqbal menambahkan dalam Perpres Nomor 20 tahun 2018 juga tidak mencantumkan secara tegas kewajiban TKA untuk melakukan transfer of job dan transfer of knowledge terhadap pekerja Indonesia.

Dia berpendapat minimal satu orang TKA harus didampingi oleh 10 TKI. Hal ini dilakukan agar pekerja lokal bisa belajar dan mendapat pengetahuan dari TKA tersebut.

"Ketika (TKA) pulang setelah 3-4 tahun tidak perlu ganti TKA lagi, sebab TKI yang mendampingi selama 3-4 tahun bisa menggantikan TKA tersebut. Kan sudah belajar," ujar Iqbal.

Selain itu, Iqbal menyebut banyak buruh kasar dari luar negeri yang bekerja di Indonesia. Dia menyebut berdasarkan posko pengaduan KSPI, terdapat 157 ribu buruh kasar bekerja di Indonesia, empat ribu di antaranya adalah TKA asal China.

Jumlah ini berbeda dengan data yang dikeluarkan Kemenaker, yaitu 85 ribu pada 2017. Iqbal menilai jumlah tersebut berbeda karena pekerja kasar dari luar negeri tak terdaftar di Kementerian, namun hanya TKA ahli.

"Pemerintah kan selalu menyangkal tidak ada TKA kasar. Coba cek di Pulo Gadung, Karawang, Tangerang Buleleng. Faktanya banyak TKA kasar," kata Iqbal.

Ia menyebut di kawasan industri Pulo Gadung, Jakarta Timur, banyak perusahaan yang memperkerjakan buruh kasar asing sebagai supir Forklift. Gaji mereka lebih besar tiga kali lipat dari pekerja lokal di jabatan yang sama.

Selain itu Iqbal juga menyebut tukang batu di proyek Meikarta, Bekasi, juga menggunakan TKA dari China. "Di Pulo Gadung, setiap pabriknya memperkerjakan 30 persen buruh kasar China. Orang China gajinya Rp10 juta supir. Orang Indonesia gajinya hanya UMR Rp3,6 juta. Apa itu adil?" ujar Iqbal.

Iqbal menilai seharusnya perpres tersebut dicabut karena dianggap salah arah mengatur sistem ketenagakerjaan. Dia menyarankan pemerintah sebaiknya mengkaji ulang atas kebijakan TKA kasar.

"Saya justru curiga ini ada kepentingan China. Lebih baik pendataan, penataan, penindakan. KSPI beranggapan tidak perlu ada perpres," kata Iqbal.

Jika pemerintah tak mau mencabut perpres tersebut, KSPI akan melakukan uji materi. Ketua Umum Federasi Nikeuba Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Dedi Hardianto sependapat dengan Iqbal bahwa pengawasan buruh kasar dari luar negeri perlu diperketat. Dedi menilai pemerintah perlu meningkatkan kualitas dan kuantitas pengawas buruh kasar asing.

Meski demikian, KSBSI tidak mempersoalkan Perpres TKA itu. Menurut Dedi, perpres ini tidak jauh berbeda dengan Perpres Nomor 72 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juli 2014.

Perbedaannya, menurut Dedi, hanya pada percepatan proses birokrasi dalam perzinan untuk pekerja asing ahli level menengah ke atas. Namun dia tidak sepakat bahwa perpres tersebut mempermudah buruh kasar asing masuk ke Indonesia.

Dedi menyebut pada pasal 7, pemberi kerja TKA tetap harus memiliki RPTKA yang disahkan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun, RPTKA itu harus memuat alasan penggunaan TKA, jabatan kedudukan TKA, jangka waktu penggunaan TKA, serta penunjukan TKI sebagai pendamping TKA.

"Peraturan ini tidak mempermuah TKA, malah memberikan kewenangan mutlak soal perizinan ke Menteri Tenaga Kerja" kata Dedi saat dihubungi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Dia sependapat dengan Menteri Ketanagakerjaan Hanif Dhakiri yang menegaskan perpres ini hanya menyederhanakan prosedur dan mempercepat izin dengan kualifikasi persyaratan yang kualitatif. Dengan demikian, pekerja asing tanpa keterampilan tidak akan diterima di Indonesia.

Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menyebut Jokowi kurang cermat dalam menerbitkan Perpres Nomor 20 Tahun 2018 menjelang pilpres 2019. Keputusan ini dinilai akan menurunkan elektabilitas Jokowi.

"Ini menimbulkan resistensi politik, sehingga ada efek terhadap elektabilitas Jokowi. Golongan pekerja akan berpikir ulang untuk memilih Jokowi," kata Ubedilah CNNIndonesia.com.

Dia menyebut penerbitan perpres ini membuat Jokowi semakin tidak populer. Pasalnya buruh yang dirugikan dalam perpres tersebut merupakan penyumbang daftar pemilih tetap yang jumlahnya sekitar 30 persen, selain tenaga ahli seperti guru, dan dosen.

"Saya yakin kalau ini menurun makin drastis, karena buruh kan besar jumlah pemilihnya," ujarnya.

Ubedilah menilai perpres itu mengatur TKA di level menengah ke atas. Artinya, hal ini akan mengurangi kesempatan kerja bagi tenaga ahli lokal. TKA ahli menerima gaji lebih besar daripada tenaga ahli lokal.

"Efeknya pada peluang tenaga kerja nasional. Sesungguhnya tenaga kerja yang ahli di Indonesia itu banyak. Sehingga banyak yang hengkang dari Indonesia," kata Ubedilah.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Dardani