Meski PP Sedang Digodok, Namun Pj Gubernur Sarankan BP Dilebur ke Pemko Batam
Oleh : Charles Sitompul
Kamis | 04-02-2016 | 09:52 WIB
nu.jpg
Penjabat Gubernur Kepri, Nuryanto (foto : ist)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Penjabat Gubernur Kepri, Nuryanto mengatakan, hingga saat ini pembahasan aturan dan status Free Trade Zone (FTZ) Badan Pengusahaan Kawasan (BPK) Batam masih terus digodok dan dibahas di tingkat pusat.

Mengenai aturan dan kewenangan, Pj Gubernur Kepri menyerahkan sepenuh nya pada Pemerintah Pusat. Namun demikian, sebagai alternatif, UU FTZ-BPK Batam‎ akan diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu), dengan alternatif wilayah investasi dan perdagangan akan dilakukan secara enclave (sebahagian saja-red).

"Untuk masalah Batam ini, saat ini saya tidak relevan berkomentar, karena saat ini pemerintah di pusat masih sedang melakukan pembahasan. Kita serahkanlah sepenuhnya pada pemerintah pusat, bagaimana yang terbaik Untuk meningkatkan investasi dan ekonomi di Batam," ujar Nuryanto pada Wartawan di Gedung Daerah.


Namun demikian, sebagai orang Pemerintahan, Nuryanto mengatakan, kepengurusan BPK Batam lebih baik diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Walaupun pelaksanaan pengelolaan dilakukan oleh BPK. Namun untuk wilayah, ada pembagiaannya antara BP Batam dengan Pemerintah Kota Batam, atau salah satu antara lembaga BPK dan Pemko Batam dihapus dan dibubarkan. 

"Sebagai orang pemerintahan saya mendukung pengelolaan BP Batam diserahkan pada Pemerintah Kota, walaupun BP Batam sudah diatur dengan wilayahnya yang enclave dan memiliki batas kewenangan yang jelas," ujar Nuryanto.

Selama ini, kata Nuryanto lagi, akibat ketidakjelasan itu maka terjadi overlapping kewenangan di Batam, yang membuat masyarakat dan pemerintah harus membayar pajak UWTO ke BP Batam. Padahal wilayahnya adalah wilayah Pemko.

"Inikan sesuatu hal yang tidak masuk akal. Kok semua pemukiman juga dipajak dengan WTO. Nah, kalau satu pemerintahan gak punya wilayah, gimana kerjanya?, lalu masyarakatnya masyarakat siapa? Apa masyarakat Kota Batam atau masyarakat BP Batam?. Tapi sampai saat ini yang mengeluarkan KTP kan Pemko, kalau dulu ya memang BP Batam," ujarnya.

Dulu, kata Nuryanto lagi, Lembaga yang mengurusi Batam hanya satu, disebut Otorita Batam dan Pemko tidak ada. Hingga Pemko Batam berdiri maka Otorita diganti menjadi BP Batam, dan hal ini yang membuat kebijakan dan kewenangan menjadi tumpang tindih.

Demikian juga masalah stataus quo lahan Rempang-Galang. Karena adanya persoalan maka Pemerintah Kota lepas tangan dan menyerahkan ke BP Batam.

"Harusnya menurut saya, kalo ada persoalanpun, harus tanggung-jawab bersama. Semua pihak disitu jangan tau enaknya saja. Masalah tanggung-jawab gini, rebutan, saling melempar dan ini yang terjadi‎," ujarnya.

Bagaimana tindak lanjut yang dilakukan Pemerintah Pusat tambah Nuryanto, nanti akan dilihat, setelah aturan PP-nya keluar.

Sebelumnya, Direktur Lalu Lintas Barang BP Batam Tri Novianta mengatakan, Batam sudah punya pengalaman sebagai kawasan sejenis KEK pada 2004, namun ternyata gagal dan hanya berjalan setahun.

"Dulu, kawasan berikat ada di Batam. Tapi gagal. Hal ini akan menjadi hal permasalahan yang perlu diantisipasi jika diterapkan lagi," kata dia.

Konsep yang hampir sama dengan KEK didasarkan pada Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2003, peraturan itu diimplementasikan pada Januari 2004.

"Ada Permenkeu No.583 dan 584, berkaitan perpajakan dan kepabeanan. Dulu itu konsepnya enclave. Akhirnya kami mengalami masalah selama satu tahun," kata Tri.

Namun demikian, sebagai perpanjangan Pemerintah Pusat di daerah, pihaknya siap menjalankan apapun keputusan mengenai pengembangan kawasan Batam.

Editor: Udin