Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPR Kritik Pemerintah Terkait Rencana Penambahan Utang di RAPBN-P 2017
Oleh : Redaksi
Selasa | 11-07-2017 | 09:02 WIB
dpr-01.gif Honda-Batam
Gedung DPR RI. (merdeka.com)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan pertimbangan pemerintah dalam menambah jumlah utang pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (R-APBNP) 2017. Rencananya, pemerintah akan menambah utang sekitar Rp42,3 triliun sampai Rp76,7 triliun untuk menutup pelebaran defisit anggaran sekitar 2,67 persen sampai 2,92 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Penambahan utang dinilai akan membuat jumlah utang Indonesia akan terus meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, utang pemerintah per Mei 2017 telah mencapai Rp3.672 triliun atau sekitar 27 persen dari PDB.

Anggota Komisi XI DPR Sarmuji menilai, penambahan utang tersebut belum sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 5,2 persen dalam R-APBNP 2017. Saat ini, pertumbuhan utang dinilai lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi.

"Pemerintah selama ini komunikasikan utang masih ditingkat yang aman, 27 persen dari PDB. Tapi seharusnya kalau pertumbuhan utang naik, pertumbuhan ekonomi juga naik. Bahkan, diharapkan pertumbuhan ekonomi lebih cepat daripada utang," kata Sarmuji dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan pemerintah di Gedung DPR, Senin (10/7).

Sarmuji pun meminta pemerintah lebih transparan dalam menjelaskan pengelolaan utangnya kepada mitra pemerintah, yaitu DPR.

"Apa mungkin pertumbuhan utang meningkat karena pengelolaan utang kita kurang, jadi tidak signifikan ke pertumbuhan ekonomi?" imbuh Sarmuji.

Terkait hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, penambahan utang oleh pemerintah dalam R-APBNP 2017 memang tak bisa dihindari. Pasalnya, belanja negara mengalami peningkatan sekitar Rp12,2 triliun sampai Rp36,1 triliun menjadi Rp1.327,7 triliun sampai Rp1.351,6 triliun.

Peningkatan belanja tersebut berasal dari beberapa pos pengeluaran yang mendesak, seperti penambahan biaya untuk infrastruktur, anggaran subsidi sektor energi, dan lainnya. Bahkan, penambahan belanja negara telah disesuaikan pemerintah dengan turut menghemat belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sekitar Rp16 triliun.

Dari sisi penerimaan negara, lanjut Darmin, diproyeksi justru meleset hampir Rp50 triliun. Alhasil, pemerintah harus menjaga kebutuhan belanja, penurunan penerimaan, hingga pelebaran defisit yang juga harus dipertimbangkan agar tak melebihi rasio yang dibatasi sebesar 3 persen dari PDB.

"Apakah mungkin kita memilih menganut rasio utang terhadap PDB tidak boleh naik tapi membangun infrastrukturnya naik? Ya pilihannya itu. Kalau mau aman (penambahan utangnya), ya tidak bangun banyak-banyak infrastruktur," kata Darmin pada kesempatan yang sama.

Sayangnya, sambung Darmin, pembatasan penambahan utang dengan menahan pembangunan infrastruktur justru lebih tidak tepat lagi untuk dilakukan pemerintah. Pasalnya, Indonesia sudah sangat tertinggal dalam membangun infastruktur, sehingga percepatan pembangunan infrastruktur di tahun-tahun ini mutlak dilakukan.

Selain itu, rasio penambahan utang oleh pemerintah, dilihat Darmin juga masih sesuai dengan batas 3 persen dari PDB sesuai dengan aturan Undang-undang (UU) dan juga masih lebih rendah dibandingkan negara-negara maju di dunia.

"Sepanjang apa yang dilakukan pemerintah dengan ekspansi anggaran itu tidak melonjak rasio utang terhadap PDB, mestinya tidak apa. Jadi, jangan dianggap ini akan terus menerus seperti ini (menambah utang)," pungkas Darmin.

Dalam R-APBNP 2017, pemerintah memproyeksikan pembiayaan dari utang mencapai Rp427 triliun bila defisit anggaran mencapai 2,67 persen dari PDB, dan utang mencapai Rp461,3 triliun bila defisit anggaran mencapai 2,92 persen dari PDB. Sementara, pada APBN 2017, utang diproyeksikan hanya Rp384,7 triliun dengan asumsi defisit sebesar 2,41 persen dari PDB.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Gokli