Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Huzrin Hood Kirim Petisi dan Peringatan ke Jambi

Pemprov & DPRD Jambi akan Resmikan Pulau Berhala
Oleh : Lan/Chr/Dodo
Selasa | 25-10-2011 | 18:19 WIB

TANJUNGPINANG, batamtoday - Selain membantah dirinya berada dibalik jatuhnya pulau Berhala ke wilayah Administrasi Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi, mantan Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood, mengaku mengirimkan petisi dan peringatan pada pemerintah dan DPRD Provinsi Jambi, atas rencana yang akan meresmikan Pulau Berhala sebagai bagian wilayah provinsi tersebut.

“Saya sudah berikan peringatan kepada Kepala BIN, Menkopolhukam, Gubernur  dan DPRD Jambi, sehubungan adanyan rencana rombongan Gubernur Jambi tanggal 27 Oktober 2011 ini untuk meresmikan Pulau Berhala, akan mendapat perlawanan dari rakyat Kepri,” kata Huzrin kepada batamtoday, Selasa (25/10/2011).

Pengiriman petisi dan peringatan terhadap rencana pemerintah dan DPRD Provinsi Jambi itu, dikatakan Huzrin Hood,  karena pihak Pemprov Kepri  sampai saat ini sedang melakukan upaya hukum terhadap putusan Mendagri.

"Pemprov sedang melakukan upaya hukum, mohon kearifan untuk menyarankan pihak Jambi menunda kunjungannnya. Pulau Berhala bukan pulau tidak bertuan, sejak awal kemerdekaan sudah ada penduduk dan kantor yang berinduk ke Riau Kepulauan. Mohon menjadi perhatian,” tegasnya lagi.

Sementara itu, salah satu keluarga keturunan Kesultanan Riau Lingga yang terakhir, Tengku Fuad, ikut angkat bicara. Pria asli Penyengat itu mengatakan,  menurut sejarah turun temurun, Pulau Berhala mutlak milik warga Singkep sebelum tahun 1945.

Kendati Mendagri berpedoman kepada UU No.25 Tahun 2002 tentang pembentukan Provinsi Kepri, seharusnya UU No.31 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lingga menjadi salah satu pertimbangan.

“UU itu bukan harga mati, yang tidak bisa dirubah seperti Alquran dan Hadits. Sengketa Berhala adalah wujud dari ketidakmampuan Pemprov Kepri dan Pemkab Lingga dalam memberikan kesejahteraan rakyatnya. Pusat sendiri kurang bijak dalam mengadili dengan bentuk putusan yang dinilai mengabaikan sejarah dan budaya adat istiadat daerah setempat,” urai Fuad.

Menukil sedikit sejarah tentang Pulau Berhala, tambahnya, pada abad XVI, Portugis memasuki perairan Sumatera. Mereka menemukan bahwa Pulau Berhala di selat Berhala banyak memiliki kemiripan Antropologi dengan orang-orang Singkep. Masyarakat Singkep banyak melakukan aktifitas yang terkait dengan Pulau Berhala. Jadi, penduduk Pulau Berhala memiliki ikatan antropologi dan kekerabatan dengan masyarakat Singkep.

Selama periode VOC (abad XVII dan XVIII) hubungan yang dijalin antara mereka dan Kesultanan Lingga karena kepentingan perdagangan  dan perkapalannya di wilayah Lingga. Perjanjian dibuat dengan Sultan Lingga pada tahun  1787, mengakui hegemoni Lingga atas pulau-pulau di selatnya termasuk Pulau Berhala. Secara politis VOC mengakui Pulau Berhala adalah milik Kesultanan Lingga.

“Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melupakan falsafah Pancasila sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara. Salah satunya adil dan beradab. Mengurus rakyat tidak cukup  dengan berkeadilan saja akan tetapi perlu beradab. Jadi keputusan itu harus dilandasi berbagai pertimbangan agar tidak terjadi ketimpangan yang memicu perpecahan,” ulasnya.