Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Amankah Makanan Dibungkus Pakai Styrofoam?
Oleh : Redaksi
Senin | 27-02-2017 | 15:14 WIB
bungkusmakananstrereoform.jpg Honda-Batam

Ilustrasi makanan dalam kemasan styrofoam. (Foto: Brian Chan)

 

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Setiap hari, jutaan manusia di seluruh dunia akan selalu berusaha untuk mengonsumsi makanan demi keberlangsungan kehidupan. Namun tidak semuanya selalu sempat untuk menyiapkan makanan di pagi hari.

 

Kebanyakan akan membeli makanan di pinggir jalan yang umumnya akan dikemas dengan kemasan putih bernama styrofoam. Sekilas tidak ada yang salah dengan kemasan ringan nan efisien yang satu ini. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari kemasan ini.

Styrofoam adalah salah satu varian dari zat bernama polystyrene (PS) yang dalam proses pembuatannya melibatkan pencampuran gelembung udara, sehingga mengembang dan membuatnya ringan seperti busa. Bahan ini sudah dipasarkan lebih dari tujuh dekade yang lalu oleh perusahaan penemu, Dow Chemicals.

Sebagaimana terlihat dari namanya, polystyrene adalah polimer dari monomer stiren. Pada saat proses pembuatan polystirene, ada beberapa monomer stiren yang tidak ikut bereaksi dan mengendap menjadi residu pada styrofoam. Residu stiren inilah yang akan berpotensi terlepas dan bergabung dengan produk makanan sehingga perlu diperhatikan dan dibatasi jumlahnya.

Menurut salah satu badan bentukan FAO yaitu Joint Expert Committee on Food Additives, nilai toleransi monomer stiren dalam tubuh manusia adalah 0,46 atau setara dengan 12,0 mg/orang/hari.

Menurut beberapa survei, konsumsi monomer stiren orang dewasa di beberapa negara seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru adalah pada kisaran 1 atau setara dengan 10 µg/orang/hari. Nilai ini masih jauh lebih rendah daripada batas aman sehingga penggunaan styrofoam masih diperbolehkan dalam pengemasan makanan khususnya makanan cepat saji.

Indonesia melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga menetapkan batas maksimum toleransi monomer stiren pada produk makanan yaitu 5000 bpj (bagian per juta). Batas ini juga dipakai oleh US FDA, salah satu badan pengawas makanan di Amerika Serikat.

Batas maksimum oleh BPOM ini didapat melalui riset pada tahun 2009 yaitu pengujian pada 17 jenis styrofoam makanan (berbentuk gelas, mangkok, lunch box, dll) didapatkan hasil residu monomer tertinggi adalah 500 bpj. Angka tersebut masih jauh dari batas maksimum sehingga pemakaian styrofoam masih dalam kategori aman.

Namun, tidak ada hal yang 100 persen tidak menimbulkan masalah di dunia ini. Penggunaan styrofoam yang sudah melewati berbagai pengujian juga dapat menimbulkan masalah. Masalah pertama adalah masalah kesehatan. Pemakaian styrofoam untuk sekali waktu masih dapat ditolerir tubuh namun untuk penggunaan yang terlalu sering akan terjadi penumpukan monomer stiren di liver.

Monomer stiren yang tidak terurai akan menyebabkan liver tidak bekerja secara optimal dan terjadilah gagal liver. Monomer stiren yang merupakan turunan benzena juga dapat mengganggu kelenjar endokrin yang berperan dalam proses reproduksi manusia. Masalah kedua yang ditimbulkan adalah masalah lingkungan.

Styrofoam termasuk zat yang sangat sulit diuraikan oleh tanah bahkan sampai ada istilah "sampah abadi" untuk kemasan ini. Selain itu pembuatan styrofoam yang menggunakan gas CFC dapat menimbulkan pemanasan global.

Penggunaan styrofoam perlu diawasi tidak hanya oleh pemerintah melalui BPOM namun juga dari berbagai kalangan baik itu masyarakat biasa, para pekerja kantoran, bahkan siswa sekalipun.

Penggunaan styrofoam yang tepat guna dan tepat sasaran akan memberi kemudahan dan efisiensi pada pengguna. Sosialisasi mengenai penggunaan dan efek samping styrofoam perlu ditingkatkan untuk mencegah kesalahan dalam penggunaan.

Selain itu peningkatan kesadaran pada masyarakat akan kebutuhan lingkungan yang sehat dan bersahabat adalah dasar untuk tidak membuang styrofoam sembarangan demi menghindari pemanasan global yang semakin terasa hari demi hari.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Dardani