Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terkait Kasus WNA Ilegal Club Med Lagoi

Erma, Pimpinan Club Med Hanya Divonis Denda Rp5 Juta
Oleh : Harjo
Selasa | 21-02-2017 | 18:14 WIB
sidang-club-med-lagoi.gif Honda-Batam

Saat Erma Pimpinan Club Med Lagoi mengikuti sidang di pengadilan Negeri Tanjungpinang (Foto: Harjo)

BATAMTODAY.COM, Tanjunguban - Setelah sebelumnya dua pimpinan Club Med Lagoi Bintan, divonis bersalah yakni Lydia Marry Christina alias Bacannos Warga Negara Prancis dan Zulkarnain Warga Negara Indonesia, Senin (20/2/2017) kemarin, Kini Erma, Pimpinan Club Med lainnya, kembali divonis bersalah dan harus membayar denda Rp5 juta dan subsider kurungan 1 bulan. 

Demikian disampaikan oleh Arfa Yudha Indriawan, Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Kasi Wasdakim) Kantor Imigrasi Kelas II Tanjunguban, kepada BATAMTODAY.COM di Tanjunguban, Selasa (21/2/2017).

"Erma, sesuai dengan data pemeriksaan, menjabat sebagai karyawati Club Med Lagoi dalam sidang hari ini, divonis bersalah dan dijatuhi hukuman denda Rp5 juta subsider kurangan 1 bulan kurungan," katanya.

Dengan divonisnya tiga pimpinan Club Med Lagoi Bintan sebagai penyedia kerja secara ilegal terhadap WNA, maka dua WNA dari 41 yang tertangkap itu, masih menunggu proses lebih lanjut terkait pelanggaran Undang Undang Keimigrasian.  

Menanggapi hal itu, Yoserizal, Sekretaris Federasi Konstruksi Umum dan Informal (FKUI) SBSI Bintan, menilai hukuman yang dijatuhkan terhadap penyedia kerja terlalu ringan, hingga tidak akan memberikan efek jera terhadap para pelakunya.

"Mendengar vonis yang dijatuhkan oleh hakim, sepertinya tidak akan memberikan efek jera kepada para pelakunya. Begitu juga dengan para WNA yang langsung dideportasi, hal tersebut tidak seimbang dengan apa yang sudah diperbuat oleh para WNA," tegas Yoserizal.

Karena menurut Yoserizal, ukumam itu berbanding terbalik saat Warga Negara Indonesia (WNI) melakukan pelanggaran kerja di luar negeri.

"Kalau WNI yang melakukan pelanggaran di luar, justru diberlakukan berbanding terbalik dengan WNA yang melakukan pelanggaran. Kalau WNA melakukan pelanggaran masih bisa tidur di hotel mewah. Kalau WNI justru ada yang diberlakukan tidak manusiawi. Seperti diikat dan digiring layaknya bukan manusia," imbuhnya.

Pantas atau tidaknya hukuman bagi WNA tersebut, kata Yoserizal, tergantung sudut pandang dan kepentingan, baik bagi penegak hukum dan masyarakat yang pernah merasakan bekerja di luar negeri.

Diberitakan sebelumnya, hukuman bagi orang atau pihak yang mempekerjakan warga negara asing (WNA) secara ilegal di Indonesia, ternyata sangat ringan. Seperti halnya yang dialami pimpinan Club Med Lagoi Bintan, Lydia Marry Christina dan Zulkarnain.

Lydia dan Zulkarnain diseret ke persidangan lantaran mempekerjakan 41 WNA secara ilegal. Kedua terdakwa ini hanya dihukum membayar denda tanpa ada hukuman pidana penjara, setelah berkasnya disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang, Senin (20/2/2017) sore.

Masing-masing terdakwa itu diadili secara terpisah oleh hakim tunggal PN Tanjungpinang. Keduanya didakwa melanggar pasal 124 huruf b UU nomor 6 tahun 2011, tentang Keimigrasian, yang ancaman hukumannya paling lama 3 bulan penjara dan denda paling banyak Rp25 juta.

Oleh hakim tunggal Guntur Kurniawan, terdakwa Lydia Marry Christina (WN Prancis) dijatuhi hukuman denda sebanyak Rp15 juta dengan ketentuan apabila denda tak dibayar akan dikurung selama 10 hari.

Di ruang sidang terpisah, hakim tunggal Hendah Karmila juga menjatuhi hukuman ringan terhadap Zulkarnain, berupa denda sebanyak Rp5 juta, subsider kurungan selama 1 bulan.

"Atas perbuatannya yang telah terbukti di persidangan, terdakwa Zulkarnain dijatuhi hukuman denda sebesar Rp5 juta su‎bsider 1 bulan kurungan," ujar hakim Hendah, membacakan putusannya.

Sementara Lydia yang dihukum membayar denda Rp15 juta, subsider 15 hari kurungan, langsung mengaku terima. Bahkan, saat itu juga dia bersedia membayar denda tersebut.

"Saya terima dan bersedia membayar denda," kata Lydia, melalui penerjemah bahasa yang mendampingi di persidangan.

Editor: Udin