Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ini Rentetan Masalah yang Mengadang Freeport
Oleh : Redaksi
Sabtu | 18-02-2017 | 13:29 WIB
freeport-indonesia1.gif Honda-Batam

Gabungan karyawan kontrak dan privatisasi PT Freeport Indonesia yang tergabung di dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) akhirnya menuntut kejelasan kelangsungan hidup jika pemerintah masih ngotot melarang ekspor bagi Freeport.(ANTARA FOTO/Vembri Waluyas)

BATAMTODAY.COM, Batam - Awal tahun ini merupakan masa-masa yang memberatkan bagi PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut dihadapkan pada berbagai rentetan masalah pasca pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 Tahun 2017, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Peraturan tersebut mengatakan, izin ekspor konsentrat akan dibuka jika status izin usaha Kontrak Karya (KK) berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan demikian, Freeport tidak bisa melakukan ekspor karena statusnya masih berbentuk KK.

Pada 26 Januari 2017, perusahaan tersebut akhirnya mengajukan penggantian izin usaha menjadi IUPK agar bisa melakukan ekspor.

Namun, Freeport tak begitu saja mau terima dengan permintaan perubahan status tersebut. Perusahaan asal Amerika Serikat tersebut menginginkan kebijakan perpajakan yang sama dengan yang tercantum di dalam kontrak (nail-down). Mereka juga enggan mengubah kepastian fiskal sesuai ketentuan yang berlaku (prevailing).

Pasalnya, jika ketentuan pajak ini diubah, maka kelangsungan investasi Freeport ke depannya akan terganggu.

"PTFI akan mengubah KK menjadi IUPK dengan syarat IUPK disertai dengan suatu perjanjian stabilitas investasi dengan tingkat kepastian fiskal dan hukum yang sama dengan KK," ujar Juru Bicara Freeport, Riza Pratama.

Di sisi lain, pemerintah tetap kukuh mempertahankan kebijakan fiskal bersifat prevailing. Gara-gara hal tersebut, proses IUPK Freeport tak kunjung selesai, sehingga perusahaan tak bisa ekspor.

Secara mengejutkan, induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoran Inc mengatakan akan mengurangi tenaga kerja. Mereka juga akan menahan investasi pertambangan bawah tanah dan mengurangi produksi menjadi 40 persen dari kapasitas total agar sesuai dengan kapasitas yang dimiliki PT Smelting jika pemerintah tidak segera memberi kepastian ihwal ekspor konsentrat.

Akhirnya, pemerintah pun memberikan status IUPK kepada Freeport tanggal 10 Februari 2017 yang lalu. Sayangnya, pemberian status IUPK ini dirasa masih menggantung karena belum ada kesepakatan dari Freeport terkait ketentuan perpajakan yang ditempuh.

Pada saat itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, ketentuan fiskal Freeport masih bisa dibicarakan usai status IUPK diberikan. "Saya belum bilang Freeport setuju atau tidak, biar mereka beri tanggapan dulu," tutur Bambang kala itu.

Meski sudah mengantongi status IUPK, nyatanya perusahaan masih tidak bisa melakukan ekspor karena Freeport masih kukuh akan kebijakan fiskal bersifat nail-down.

"Ekspor tetap dilarang sebagai akibat dari peraturan-peraturan yang diterbitkan di Januari 2017, di mana hal itu bertentangan dengan hak-hak Freeport dalam kontrak dengan pemerintah yang mengikat secara hukum," tambah Riza.

 

Expand