Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Babu dan bukan Babu
Oleh : Opini
Rabu | 25-01-2017 | 13:14 WIB

Oleh Rieke Diah Pitaloka

KICAUAN Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Tweeter pribadinya @fahrihamzah beberapa lalu, seperti menyentil kita semua. Dalam tweet-nya Fahri mengatakan,"Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela". Sebagian marah dan mengecam, karena dianggap melecehkan dan merendahkan martabat tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.

Tapi, mari kita lihat arti kata "babu" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Orang yang yang bekerja sebagai pembantu dalam rumah. Ada babu cuci, babu masak dan sebagainya. Upah terserah yang memberi, jam kerja juga terserah majikan.

Tawar-tawaran pun tidak dijamin norma hukum, jadi kalau dilanggar pun tak ada sanksi bagi yang melanggar. Bisa diberhentikan kapan saja, tanpa pesangon. Ada majikan yang baik, itu untung-untungan, bukan karena ada perlindungan hukum yang memperlihatkan kehadiran negara.

Memang ada konotasi yang terkesan kasar dari kata babu. Tapi itulah kenyataannya, hidup jadi begitu kasar dan keras bagi mereka yang jadi babu dan diperlakukan sebagai babu, bukan pekerja. Saya kira sudah saatnya kita tidak terjebak "eufemisme", menghalus-haluskan kata untuk kondisi yang berkebalikan. Menggunakan kata-kata yang sopan untuk menutupi ketidakadilan yang terjadi.

Selama belum diakui sebagai pekerja formal, ya istilah yang tepat memang babu alias pembantu. Nasib tragis pun bagi "babu" (maaf bukan bermaksud menghina) terjadi di dalam negeri, klik saja di Mbah Google: "Kekerasan terhadap pembantu". Pasti langsung keluar rentetan cerita tragis. Babu alias pembantu rumah tangga beda arti dengan pekerja rumah tangga. Kalau pembantu yang bantu-bantu di rumah dalam KBBI, ya disebutnya memang babu.

Sementara kalau pekerja rumah tangga, harus jelas jenjang pendidikan sebagai pekerja, perjanjian dan kontrak kerja jelas. Ada kewajiban sebagai Pekerja yang harus dipenuhi pekerja dan ada hak-hak sebagai Pekerja yang wajib dipenuhi pemberi kerja, seperti upah , one day off, jaminan sosial dan sebagainya.

Barangkali yang di Hong Kong cukup baik nasibnya. Karena sistem hukumnya cukup baik melindungi TKI yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga. Tapi, coba lihat di negara lain, terutama Timur Tengah dan Malaysia.

Kita tidak bisa menyalahkan negara penerima TKI, tetapi saatnya kita berjuang bersama memperbaiki sistem hukum yang melindungi TKI. Tidak perlu saling menghujat dan menyalahkan. Kita sama-sama rumuskan yang terbaik, agar negara Penerima TKI pun "tidak main-main" terhadap Pekerja dari Indonesia.

Kalau berjuang bersama pasti perjuangan akan lebih cepat tercapai untuk mensahkan Sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, agar di dalam negeri pun professi yang sama mendapatkan kepastian perlindungan hukum sebagai pekerja, bukan sebagai babu yang tanpa kejelasan status kerja dan hak-hak pekerja

Kemudian sahkan juga revisi UU yang mengatur TKI dan harus sejalan dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan keluarganya yang telah dirativikasi Indonesia.

Lalu, bongkar perdagangan manusia berkedok pengiriman TKI, agar TKI kita tidak diperlakukan sebagai babu atau bagian budak. Tangkap dan adili siapa pun pelaku yang terlibat, kalau ada pejabat yang terlibat pun harus dicopot dari jabatannya dan mendapat sanksi pidana.

Saya dukung penuh Presiden Jokowi untuk terwujudnya tiga poin di atas!

Penulis adalah Anggota Timwas TKI DPR RI dan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Indonesia Perjuangan DPR RI