Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pilih Mana Bu, Pembalut Kain Apa Sintetis?
Oleh : Redaksi
Sabtu | 22-10-2016 | 08:00 WIB
desa_tanpa_pembalutbybbc.jpg Honda-Batam

Pembalut kain ini dibuat para ibu di Wonosobo. (Foto: BBC)

PARA ibu di satu dusun di Wonosobo, Jawa Tengah dalam satu tahun ini menggunakan pembalut yang terbuat dari kain, namun banyak yang mempertanyakan kebersihan pembalut yang dapat dipakai ulang ini.

 

Pembalut kain yang telah dikembangkan dalam satu tahun ini dibuat karena keprihatinan dalam pembuangan sampah, terutama sampah plastik di Dusun Depok, Kabupaten Wonosobo.

Banyak yang mempertanyakan kebersihan pembalut ini melalui Facebook BBC Indonesia, termasuk Dewi Sari yang menulis, "Tidak bagus untuk personal femine hygiene," dan Mauriece Bachtera Bodlund yang mengatakan, "Nggak hygienis yang dipake ulang. Bisa kena infeksi dan tumbuh jamur."

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Rudiyanti, seorang dokter kandungan di Jakarta mengatakan dari sisi kebersihan, justru kain adalah "yang paling bersahabat dengan kulit manusia."

"Dari sisi hygiene asal darah dicuci secara bersih dan dikeringkan dan bisa dipakai lagi. Tujuannya hanya untuk menampung (darah)," kata Rudiyanti.

"Justru kain adalah bahan yang sangat ramah kulit dibandingkan bahan kertas, dari kain itu bahan yang sangat bersahabat dengan kulit manusia. Zaman sekarang (orang ingin yang) praktis, habis dipakai dibuang sampai ada celana dalam dari kertas. Sebenarnya yang paling baik dari bahan kapas (kain)," tambahnya.

Apa yang dilakukan oleh perempuan di Wonosobo dalam mengembangkan pembalut daur ulang ini juga didukung oleh pemerintah desa setempat. Desa menerbitkan Peraturan Desa (Perdes) pada 2015 yang mewajibkan para perempuan di empat dusunnya menggunakan pembalut kain yang diproduksi sendiri oleh para penjahit lokal.

Agus Martono, Kepala Desa Wulungsari mengatakan, "Warga yang masih menggunakan pembalut sintetis, kita lakukan pembinaan. Kita kasih masukan dan motivasi sehingga hampir semua perempuan di sini sudah menggunakan pembalut ramah lingkungan."

Bijaksana Junerosano dari organisasi lingkungan, Greeneration Indonesia mengatakan manajemen persampahan di Indonesia "belum mumpuni" dan sulit untuk melakukan daur ulang sendiri di rumah.

Pernyataan soal ramah lingkungan juga diangkat sejumlah pembaca BBC Indonesia melalui Facebook.

Anna Denquixote, di antaranya menulis, "Zaman dulu juga pakai kain...yang pasti sebelum dipakai dicuci dululah..memang yang belum terbiasa pikiran jijik, tapi menurutku lebih bagus."

Sedangkan Antaka Wulan mengatakan, "Gak ada yang peduli dengan lingkungannya. Egois mementingkan diri sendiri. Mikirin penyakitnya di diri sendiri. Bumi ini lebih sakit karena salah satu sampah pembalut wanita atau popok bayi ya sama aja. Yang walaupun ditimbun enam tahun gak terurai."

Kain, selain ada yang menggunakan sebagai pembalut, juga dipakai di kamar operasi, menurut dokter kandungan, Rudiyanti.
"Pertolongan persalinan dan operasi juga dipakai kain untuk menutupi bagian ibu yang tidak dioperasi. Itu pasti kena darah dan dicuci dengan detergen dan bisa dipakai lagi. Yang penting bersih dan bisa dipakai kembali untuk pasien lain," kata Rudiyanti.
"(Untuk pembalut) asal dicuci secara benar, metodenya hanya menampung darah menstruasi, dikeringkan dan bisa dipakai lagi," tambahnya.

Di India, seorang pria, yang membuat handuk pembalut murah untuk perempuan tidak mampu, meraih penghargaan Raymon Magsaysay tahun lalu.

Organisasi Ansahu Gupta membuat pembalut kain itu untuk membantu 70% perempuan India yang tidak mampu mendapatkan pembalut sintetis.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Dardani