Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Finalisasi Pembahasan RUU CSR di DPD RI Diwarnai Perdebatan Sengit
Oleh : Irawan
Rabu | 19-10-2016 | 19:59 WIB
hardirdp.jpg Honda-Batam

Rapat Dengar Pendapat mengenai finalisasi RUU tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Finalisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR) diwarnai perdebatan atas pasal 7 yang mengatur tentang pihak-pihak yang memiliki kewajiban dalam menjalankan RUU ini.

Komite III DPD RI melakukan finalisasi RUU TJSP/CSR dengan sejumlah tim ahli. Beberapa hal yang dibahas antara lain tentang perubahan nama RUU. Rapat menyepakati nama baru untuk RUU ini yakni RUU Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Ketua Komite III DPD RI, Hardi Slamat Hood menjelaskan pergantian nama dilakukan karena RUU ini hadir untuk mensinergikan kepentingan seluruh pemangku kepentingan. Sehingga, seluruh elemen masyarakat baik perusahaan maupun nonperusahaan wajib untuk memberikan kontribusinya dalam mensejahterakan masyarakat.

"Berdasarkan masukan nama RUU ini berganti menjadi TJSL karena tidak hanya perusahaan yang wajib mensejahterakan masyarakat dan lingkungan tetapi juga Persero, CV, Firma, Ormas, Yayasan dan Koperasi," jelasnya di Jakarta, Rabu (19/10/2016).

Namun, perdebatan terjadi karena pasal 7 mengatur secara rinci kewajiban untuk melaksanakan TJSL diberlakukan kepada Perseroan, CV, Firma, Yayasan dan Koperasi yang memiliki asset paling sedikit 1 Milyar rupiah dan jumlah karyawan paling sedikit 20 orang.

Wakil Ketua Komite III DPD RI, Charles Simaremare mengatakan, kewajiban ini akan sangat memberatkan bila diberlakukan kepada Yayasan dan Koperasi, karena sebagian besar usaha yang dilakukan adalah nonprofit.

Sementara itu, anggota Komite III DPD RI, Abdul Azis menilai perlu dipertimbangkan lagi dasar dari penentuan pasal 7, karena seharusnya mempertimbangkan tentang keuntungan yang dimiliki oleh Yayasan atau Koperasi.

“Dasarnya dulu harus dilihat, seharusnya tidak melihat dari asset yang dimiliki oleh perusahaan itu tapi seberapa besar keuntungan yang mereka peroleh,” ujar Azis.

Sementara itu, Anggota asal Banten, Ahmad Sadeli Karim memandang perlunya untuk mengkaji dari UU yang telah ada. Ia menilai pasal itu sebaiknya dihapus saja karena berpotensi kontraproduksi atau bertentangan dengan UU lainnya.

“Masalah yayasan ataupun Ormas, itukan sudah ada UUnya. Jangan sampai kita membuat aturan seperti ini, padahal di UU Yayasan ataupun UU Ormas tidak ada ketentuannya. Nanti akan jadi kontraproduktif,” ujarnya.

Sependapat dengan Ahmad Sadeli, anggota asal Lampung Ahmad Jazuli menyarankan agar ketentuan di pasl 7 dihapus dan dibuatkan ketentuan bagi pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan turunan supaya bisa sesuai dengan perkembangan zaman.

Hal lain yang juga mengemuka dalam pembahasan adalah tentang pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang enggan melakukan program TJSL. Anggota Komite III asal Sulawesi Tenggara, Abdul Jabbar Toba mengatakan masyarakat sangat antusias dengan adanya RUU TJSL karena sejauh ini perusahaan banyak yang hanya melakukan produksi tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Sementara, program TJSL/CSR seharusnya merupakan kewajiban dari perusahaan terhadap daerah.

"TJSL harus terprogram dengan baik, apa yang jadi kebutuhan dari daerah harus disesuaikan oleh perusahaan dan pemerintah daerah. Ketentuan tentang ini harus diatur secara jelas dalam RUU ini,"ujarnya.

Ia menegaskan agar isi dari RUU TJSL ini mempertegas fungsi dan peran TJSL yang kerap dialih tugas dan fungsinya oleh pemerintah daerah. “RUU TJSL ini harus dipertegas dalam menjalankan fungsi dan peran CSR sehingga tidak bertabrakan dengan pemda, ujar senator asal Sulawesi Tenggara ini.

Editor: Surya