Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sidang AIPA ke-32

RI akan Dorong Bahasa Indonesia sebagai Bahasa ASEAN
Oleh : Surya Irawan
Rabu | 21-09-2011 | 15:18 WIB

PHNOM PENH, batamtoday - Ketua DPR RI  yang juga Ketua Delegasi Indonesia dalam sidang AIPA ke 32 yang dilaksanakan di Phnom Penh, Kamboja mengatakan, akan menjadikan Bahasa Indonesia, Malaysia atau Melayu digunakan sebagai bahasa pendamping dalam pelaksanaan sidang-sidang AIPA dimasa datang.

Untuk itu, Marzuki menjelaskan akan melakukan segala upaya untuk merubah statute AIPA tersebut. Marzuki juga menilai bahwa hal ini wajar mengingat Indonesia, Malaysia dan Melayu adalah bahasa yang terbanyak digunakan di kawasan ASEAN.
 
“Dalam momen yang berharga ini, dalam semangat memperbarui Statuta AIPA agar sesuai dengan perkembangan saat ini, kami juga ingin mempromosikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam AIPA. Bahasa Indonesia adalah bahasa modern yang telah melalui beberapa sinkronisasi sejak pertama terkenal sebagai bahasa resmi Republik Indonesia pada tahun 1945. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling banyak digunakan keenam di dunia setelah Mandarin, Inggris, Hindi, Spanyol dan Arab. Untuk itu sekiranya dapat dipertimbangkan agar Bahasa Indonesia dapat menjadi salah satu bahasa kerja dalam AIPA.,”ujarnya dalam pidatonya di depan sidang AIPA ke 32 di Phnom Penh, Kamboja (20/9).
 
Indonesia tambahnya, sebagai Negara yang terbesar dan komunitas terbesar di ASEAN, serta dengan mempertimbangkan bahwa bahasa Indonesia digunakan di mayoritas Negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunai Darusalam sebagaian Singapura, Vietnam dan Kamboja maka alangkah baiknya bahasa Indonesia, Malaysia dan melayau jadi bahasa pendamping.  .
 
Indonesia sendiri menurutnya, sangat menghargai nilai-nilai bahwa demokrasi dibangun berdasarkan kearifan local, sehingga wajar jika Indonesia berpendapat harus ada satu bahasa yang bisa mempersatukan semua warga ASEAN. “Secara emosional akan lebih mudah menggunakan bahasa Indonesia bagi komunias ASEAN. Selain itu di luar negeri seperti Australlia, Afrika Selatan dan Arab Saudi  pun sudah diberikan pelajaran bahasa Indonesia. Kita juga merupakan salah satu pasar terbesar sehingga wajar kita meminta agar bahwa ini bisa dijadikan bahsa resmi,” imbuhnya.
 
Mengenai penolakan Philipina, Marzuki menjelaskan bahwa pada dasarnya Philipina tidak menentang tapi yang diperkarakan masalah biaya karena penggunaan bahasa Indoensia tentunya juga harus mempersiapkan adminstrasi dalam dua bahasa seperti Inggris dan Indonesia dan masih ditambah bahasa lokal. Jadi mereka hanya mempersoalkan masalah biaya, namun kita juga menegaskan bahwa biaya tidak ada artinya dibandingkan nilai kebangsanaan apabila hal itu bisa diimplementasikan di AIPA ini.”Kita berjuang disini, kalau tidak sukses kita perjuangkan tahun depan pada pelaksanaan AIPA di Indonesia,” tegasnya.
 
Sementara itu Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR RI, Hidayat Nur Wahid delegasi Indonesia akan melobi semua peserta untuk menyampaikan alasan kenapa bahasa Indonesia harus jadi bahasa resmi ASEAN. "Kita tegaskan bahwa kita tidak menolak bahasa Inggris,tapi kita juga tidak bisa merendahkan bahasa Indonesia. ÄSEAN  bukan jajahan inggris, ASEAN adalah sendiri. Dalam konteks negara ASEAN pun gak ada satupun negara yang menggunana bahasa Inggris sebagai bahasa resmi,” kata Hidayat.

Anggota Delegasi Indonesia lainnya, Karolin Margret Natasa mengatakan jika delegasi berhasil menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pendamping dan bahasa resmi ASEAN, maka diharapkan tidak ada lagi pemimpin di Indonesia termasuk presiden RI yang menggunakan kata-kata dalam bahasa Inggris dalam berbagai acara pidatonya baik yang resmi ataupun tidak.Kalau tidak bangsa Indonesia sendiri yang menghargai bahasanya, maka siapa lagi yang akan membesarkan bahasa Indonesia.
 
“Presiden terutama saya ingin mengingatkan untuk konsisten menggunakan bahasa Indonesia dan menyelip-nyelipkan bahasa Inggris dalam pernyataannya hanya agar dikatakan keren. Presiden harus bisa mencontohkan untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahasa Inggris baru boleh digunakan dalam pernyataan-pernyataan presiden, jika memang tidak ada padanan kata yang akan disebutkannya dalam bahasa Indonesia,” Karoline.