Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Nasibmulah Irman Gusman, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Oleh : Redaksi
Selasa | 20-09-2016 | 17:14 WIB
irman-gusti.gif Honda-Batam

Ketua DPD RI Irman Gusman keluar dari gedung KPK Jakarta menuju ke mobil tahanan KPK usai diperiksa, Sabtu (17/9/2016). Irman Gusman jadi tersangka terkait dugaan suap kebijakan kuota gula impor. (Sumber foto: Kompas.com)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Sebuah ungkapan "sudah jatuh tertimpa tangga" terasa pas untuk menggambarkan situasi yang dialami Irman Gusman saat ini, setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Sabtu (17/9/2016).

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Irman diduga menerima uang sebesar Rp100 juta yang diberikan oleh Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto terkait pemberian rekomendasi kepada Bulog.

Tujuannya, agar Bulog memberikan jatah impor gula kepada CV Semesta Berjaya di Sumatera Barat. Rapat pleno Badan Kehormatan (DPD) yang dipimpin Ketua AM Fatwa akhirnya secara resmi memberhentikan Irman Gusman dari jabatan Ketua DPD.

Tidak hanya diberhentikan sebagai ketua DPD, sejumlah pihak juga mulai mempersoalkan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana yang pernah diterima Irman berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2010.

Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono memberikan tanda kehormatan itu langsung kepada Irman pada 13 Agustus 2010. Bintang Mahaputera Adipradana merupakan penghargaan yang diberikan atas jasa-jasa di berbagai bidang yang bermanfaat untuk kemakmuran, kemajuan, dan kesejahteraan negara.

Usul pencabutan tanda kehormatan Irman diungkapkan oleh anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz. Donal mengatakan Pemerintah harus mencabut gelar kehormatan Irman berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, menurut Donal, publik melihat Irman dengan tanda jasa dari negara sebagai sesuatu yang ironi. Di satu sisi, negara telah menganggap Irman berjasa, namun ternyata melakukan tindak pidana, apalagi korupsi.

Kedua, hal tersebut akan menjadi preseden buruk ketika tanda jasa serupa nantinya diberikan kepada warga negara lain.

Pertimbangan ketiga, persepsi tanda jasa itu sendiri sangat mungkin menjadi negatif di hadapan publik. Seharusnya, tanda jasa semacam itu merupakan sesuatu yang sakral. Oleh sebab itu, mesti dijaga betul siapa yang menerima tanda jasa itu.

"Intinya pemerintah harus melihat ini secara lebih luas. Meski, ini (tindak pidana) sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan tanda jasa, tapi ini soal image tanda jasa itu sendiri," ujar Donal, Senin (19/9/2016).

Expand