Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Istana Pasir Irman Gusman
Oleh : Redaksi
Senin | 19-09-2016 | 12:08 WIB

Oleh Refly Harun

SAAT mendengar ada anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), saya langsung kecewa. Akhirnya wabah korupsi merasuk juga kepada para anggota DPD. Semua lembaga negara utama akhirnya terjerembab dalam kasus korupsi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga-lembaga negara utama yang pimpinan atau anggotanya pernah menjadi pasien KPK.

Saya baru kaget ketika disebutkan bahwa inisial anggota DPD tersebut adalah IG. Selama ini, di DPD yang menggunakan atau kerap dipanggil dengan inisial IG adalah Ketua DPD Irman Gusman. Ketika dikonfirmasi bahwa IG memang Irman Gusman, saya seolah tak percaya. Apalagi suapnya terkait dengan uang receh bagi seorang Irman, Rp 100 juta.

Saya langsung membayangkan sosok IG yang saya kenal baik. Dalam satu bulan terakhir dua kali saya bertemu dengan IG dalam kegiatan di Universitas Andalas (Unand), Padang. Pertama, ketika acara dies natalis Fakultas Hukum Unand, akhir Agustus lalu. Saat itu ada orasi dari Prof. Mulya Lubis soal DPD. Kedua, dalam acara pemberian gelar doktor honoris causa kepada Wakil Presiden M Jusuf Kalla, awal September lalu.

Perkenalan saya dengan Irman setidaknya sudah berlangsung dalam sembilan tahun terakhir, sejak 2007, ketika saya dan beberapa ahli hukum tatanegara, Saldi Isra, Denny Indrayana, (alm) Fajrul Fallaakh, Satya Arinanto, Marwan Mas, Yuliandri, Irmanputra Sidin, dan Bivitri Susanti, membantu DPD dalam merumuskan usul amandemen UUD 1945.

Saya termasuk yang mendorong penguatan lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Alasannya sederhana, lembaga ini sudah dihadirkan dengan rekrutmen anggota yang bahkan lebih ketat dibandingkan anggota DPR, tetapi tidak diberikan kekuasaan yang signifikan. DPD tidak memiliki kekuasaan yang bersifat final. Semua hasil pekerjaan DPD akan ditentukan oleh lembaga lain dalam hal kelanjutannya.

Karena tidak berkuasa itulah banyak yang mengatakan DPD tidak terjerembab dalam kasus korupsi. Seandainya diberikan kewenangan untuk memutuskan, misalnya memutuskan anggaran, praktik percaloan yang sering melanda DPR akan terjadi juga di DPD.

Saya tidak menyalahkan hipotesis tersebut, kendati tidak juga membenarkan. Semuanya perlu dibuktikan. Namun, tidak boleh membiarkan sebuah lembaga yang rekrutmen anggotanya bahkan lebih sulit dari lembaga mana pun (kecuali presiden dan wakil presiden), menghabiskan anggaran triliunan setiap tahun, tidak memiliki kekuasaan yang menentukan.

Dagang Pengaruh

Korupsi ternyata tidak sekadar berasal dari kewenangan lembaga. Orang-orang dalam lembaga bisa saja memainkan peran sentral dalam korupsi dalam bentuk memperdagangkan pengaruh, yang sering disebut sebagai trading in influence. Tetap dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, kiranya inilah yang dimainkan IG dalam kasus kuota gula impor yang kini mendera dirinya.

DPD tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam soal kuota gula impor, tetapi jabatan IG sebagai Ketua DPD tentu memiliki pengaruh kuat kepada orang atau lembaga tertentu untuk memutuskan soal kuota tersebut. Dalam kondisi normal tanpa suap, sah-sah saja bila IG membantu lobi untuk melancarkan urusan karena dia adalah wakil rakyat juga, selain wakil daerah, yang dipilih. Terlebih bila urusan tersebut menyangkut orang atau lembaga di Sumatera Barat, provinsi yang dia wakili. Lobi dalam politik hal yang biasa. Harus dibiasakan lagi karena DPD tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan.

Soalnya, ketika IG menerima pemberian dari lobi yang dilakukan, saat itulah pekerjaan wakil rakyat atau wakil daerah menjadi pekerjaan broker atau percaloan. Saat itulah lobi menjadi tindak pidana. Dalam konteks Indonesia, itu menjadi tindak pidana suap. Dalam konteks yang lebih umum trading in influence.

Saya berharap, Irman hanya terjerembab dan khilaf. Praktik menerima suap seperti ini bukan kebiasaannya. Katakanlah pada malam ketika ditangkap itu dia khilaf karena mau menerima uang receh. Saat itu ia digayuti kabut moral hazard bahwa Rp. 100 juta itu bukan suap, sekadar uang terima kasih karena dia sudah bantu omong, misalnya dengan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog).

Sudah rahasia umum, uang tengkyu ini kerap diterima para pejabat atau orang-orang yang memiliki pengaruh semacam pimpinan partai politik karena telah membantu melancarkan urusan. Dalam benak mereka ini bukan suap karena bukan mereka yang memutuskan urusan. Mereka hanya membantu bicara dengan orang atau lembaga yang berwenang.

Sekali lagi saya berharap Irman hanya terjerambab kali ini saja – yang nanti akan bisa dibuktikan dalam persidangan selanjutnya. Bila tidak, bila praktik menerima suap ini sudah sering dilakukan, sebagai orang yang mengenal Irman dari jarak cukup dekat, saya sungguh sangat sangat menyesalkan.

Irman sudah membangun istana karier politiknya cukup panjang. Tahun 1999 saat reformasi, ia sudah jadi anggota MPR. Tahun 2004 ia terpilih sebagai anggota dan Wakil Ketua DPD. Tahun 2009 bahkan IG terpilih sebagai Ketua DPD, dan sekali lagi untuk tahun 2014. Namun, istana itu kini hanyalah istana pasir yang langsung roboh diterpa angin suap yang kerap melanda pula pejabat-pejabat lain di Republik ini.

Mudah-mudahan ini menjadi pembelajaran bagi pejabat-pejabat lainnya yang sering, sudah, atau akan korupsi. Hentikanlah praktik itu. Bila tidak, meminjam Pimpinan KPK Saut Situmorang, tidak hanya KPK yang harus lebih kejam kepada mereka. Rakyat, kita semua, juga harus kejam dan mengutuk mereka!

Penulis adalah Akademisi dan Praktisi Hukum Tata Negara, Mengajar di Program Pascasarjana UGM.