Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dari Timor Leste Jadi Bintang Olimpiade
Oleh : Redaksi
Sabtu | 20-08-2016 | 08:00 WIB
timor_runnerbybbc.jpg Honda-Batam

Agueda Amaral, berlari bersama sekelompok pelari muda Timor. (Foto: BBC)

PADA tahun 2000, pelari maraton Agueda Amaral, diundang untuk mewakili negeri yang baru merdeka, Timor Leste, di Olimpiade Sydney.

Dalam tempo satu tahun, ia berubah dari pengungsi di negara yang dilanda perang menjadi pelari Olimpiade. Putaran terakhirnya dalam nomor maraton adalah salah satu momen yang paling mengesankan dari pesta olah raga ini. Wartawan BBC Rebecca Henschke menemuinya beberapa waktu lalu.

Ini jam 5.30 pagi dan matahari baru saja datang di atas Teluk Dili, mewarnai perbukitan dengan nuansa jingga: oranye dan merah muda. Di sepanjang jalan yang berangin di sekitar Teluk adalah Agueda Amaral, perempuan setinggi 1,2 meter. Bersamanya adalah sekelompok pelari muda Timor.

Agueda melontarkan senyum saat ia berlari melintasi kami dan memberitahu kami untuk mengikutinya. Dia berlatih keras untuk Dili Marathon tahun ini dan berlari setidaknya empat jam sehari.

"Aku akan menjadi pelari tuan rumah yang layak," katanya padaku nanti. "Jika saya tidak berlari dalam kondisi yang baik, itu tidak menunjukkan sikap sopan kepada semua pelari internasional yang datang ke sini."

Di belakangnya berjejalan 20 atlet muda lainnya mulai dari 6 hingga 16 tahun, di pipi mereka tato sementara bendera Timor Timur. Mereka adalah para murid di sekolah atletik Agueda.

"Sebagai atlet veteran di Timor Timur saya merasa itu tugas saya untuk membantu. Saya perlu melatih para atlet muda. Di situlah semangat saya sekarang. Saya ingin mencari bibit-bibit baru yang bisa menggantikan saya," katanya.

Begitu dia menyelesaikan larinya, Agueda berbalik dan menepukkan tangan dan berseru-seru meminta para muridnya untuk berlari lebih cepat lalu memimpin latihan mereka.

Kini Agueda sudah menjadi ibu dari enam anak namun dia tetap memiliki memiliki energi dan antusiasme seorang anak.

Agueda Amaral lahir di pedesaan Timor Timur, ketika negeri itu masih dikuasai Indonesia. Di masa kecilnya dia biasa lari ke dan dari sekolah di perbukitan curam di sekitar desanya. Pada saat ia berusia sembilan tahun dia sudah merupakan pelari yang bagus dan mewakili desanya di kompetisi lokal.

Di salah satu lomba, ia menarik perhatian seorang tentara Indonesia yang memiliki minat dalam atletik. "Dia minta izin orang tua saya untuk membawa saya untuk tinggal di Dili dengan dia dan keluarganya," katanya.

Pada saat itu keluarga Timor asli tidak berdaya untuk berkata tidak kepada prajurit militer Indonesia. "Saya menangis dan ingin kembali ke orang tua saya tapi pelatih saya mengatakan jika ingin menjadi terkenal saya harus meninggalkan ibu saya. Saya tidak punya pilihan."

Dia diizinkan untuk bertemu keluarganya seminggu sekali setelah kebaktian di gereja pada hari Minggu untuk makan siang.

"Dia itu baik kepada saya, tetapi terkadang istrinya keras. Ketika saya tinggal dengan mereka, mereka semua akan makan dan minum duluan. Saya akan mencuci piring mereka dan membersihkan semuanya, lalu mereka akan tidur dan baru kemudian saya bisa makan. Inilah apa yang saya rasa harus dilakukan."

Kadang-kadang dia akan menangis sendirian, katanya, tapi pada saat yang sama dia sangat berterima kasih kepada tentara Indonesia yang menjadi pelatihnya Papiter Lobo. Tanpa dia, dia tidak yakin akan menjadi seorang pelari profesional.

Agueda masih terus menjaga kontak dekat dengan dia dan keluarganya. "Dia sangat bangga padaku," katanya.

Di ruang tamu rumah Agueda di pusat kota Dili, dipajang gambar ukuran besar, saat ia melintasi garis finish di Olimpiade Sydney tahun 2000. Setahun sebelum saat itu dia adalah seorang pengungsi yang harus berlari menyelamatkan hidupnya.

Hasil referendum tahun 1999 menunjukkan, lebih dari tiga perempat warga Timor Timur memilih untuk merdeka dari Indonesia. Milisi yang dipersenjatai dan didukung oleh Indonesia kemudian melancarkan gelombang kekerasan. Bersama seperempat dari penduduk lainnya, Agueda melarikan diri melintasi perbatasan ke Timor Barat.

"Pada waktu itu saya takut bahwa saya akan dibunuh atau dipenggal. Orang-orang membawa parang kemana-mana. Saya sangat ketakutan. Kami tak membawa apa-apa (dalam pelarian itu) dan, ketika kami kembali, kami menemukan rumah kami telah terbakar habis. "

Pasukan perdamaian PBB yang dipimpin oleh Australia akhirnya memulihkan situasi dan panitia Olimpiade Sydney datang mencarinya. "Mereka menncari-cari saya, menanyakan tentang seorang pelari maraton yang sudah mereka dengar," katanya.

"Saya ditanya apakah saya bisa tampil bertanding mewakili Timor Timur. Saya sangat senang bahwa saya bisa ambil bagian dalam Olimpiade 2000."

Pada saat itu dia berlari bertelanjang kaki dan hanya diberi sepatu ketika dia sampai di Australia. Putaran terakhirnya dalam nomor maraton adalah salah satu momen yang paling mengesankan di Olimpiade Sydney.

Saat itu baru kedua kalinya ia lari maraton secara penuh, dan setelah 42 kilometer berlari di jalanan Sydney, ia masuk stadion Olimpiade dan jatuh berlutut dan bersyukur bahwa ia telah mencapai garis akhir.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Dardani