Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Fitra Curigai Indikasi Penyelewengan Dana Eksekusi Mati
Oleh : Redaksi
Kamis | 11-08-2016 | 13:50 WIB
mayat-terpidana-mati.jpg Honda-Batam

Jenazah terpidana mati kasus narkotika Cajetan Uchenna Onyeworo Seck Osmanu saat tiba di Rumah Duka St Carolus, Jakarta, Jumat, 29 Juli 2016. (Sumber foto: CNN)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencurigai adanya indikasi penyalahgunaan anggaran dalam pelaksanaan eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati kasus narkotika di Indonesia.

Pasalnya, ditemukan adanya dobel anggaran dengan jumlah yang cukup besar dalam satu kegiatan yang melibatkan dua lembaga hukum ketika dilaksanakannya eksekusi terpidana mati.

Staf Advokasi Fitra, Gulfino Che Guevarrato, mengatakan, dalam pelaksanaan eksekusi mati, baik pihak kejaksaan maupun pihak kepolisian sama-sama mengajukan anggaran dengan jumlah maksimal untuk satu kali pelaksanaan eksekusi terhadap satu narapidana. Kedua lembaga tersebut sama-sama merincikan dana dengan jumlah besaran maksimal untuk satu narapidana sebesar Rp200 juta dan Rp247 juta.

"Padahal, dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Pasal 29 mengenai tata cara pelaksanaan hukuman mati, yang berhak mengeluarkan dana dalam eksekusi hanya kepolisian. Lalu kenapa kejaksaan juga ikut mengajukan dengan nominal yang besarnya hampir sama," kata Finno, Rabu (10/8/2016).

Finno juga mempertanyakan transparansi rincian anggaran dari pihak kepolisian yang selama ini tertutup, terkait dengan anggaran eksekusi mati. Padahal, dalam pengelolaan anggaran, menurutnya, harus ada keterbukaan, sehingga masyarakat bisa tahu dengan jelas anggaran tersebut digunakan untuk apa saja dan berasal dari mana.

"Di sana hanya disebutkan, transportasi sekian, regu tembak sekian, makan sekian. Itu memangnya jelas? Tidak. Apalagi ini besar sekali, satu narapidana menghabiskan Rp247 juta, untuk apa saja?" kata Finno.

Dalam rincian anggaran yang ditemukan oleh Fitra disebutkan, pihak kepolisian mengajukan dana Rp247 juta untuk satu narapidana, sedangkan kejaksaan mengajukan Rp200 juta untuk masing-masing narapidana. Dalam eksekusi mati gelombang tiga diketahui bahwa terdapat 14 narapidana yang semula akan menjalani eksekusi. Total keseluruhan dalam satu kali pelaksanaan eksekusi masing-masing lembaga adalah, kepolisian sebesar Rp3,4 miliar dan kejaksaan sebesar Rp2,8 miliar.

"Dan kemarin itu yang dieksekusi hanya empat, sisa dananya kemana? Syukur kalau dikembalikan, nah kalau tidak? Asal pas eksekusi jangan minta dana lagi saja," katanya.

Dalam Peraturan Kapolri No. 12 tahun 2010 Pasal 29 tentang Tata Cara Eksekusi Mati disebutkan, segala bentuk pengeluaran dibebankan kepada pihak kepolisian. Sehingga ketika pihak kejaksaan mengajukan anggaran untuk eksekusi mati, menurut Finno, harus jelas peraturan serta hukum dari UU mana yang melandasi permintaan anggaran tersebut.

Karena, dari dua rincian dana tersebut, masyarakat harus diberi tahu dana yang mana yang sebenarnya digunakan dalam kegiatan eksekusi tersebut.

"Kalau menggunakan dana kepolisian, mana rinciannya, Rp3 miliar itu jumlah yang besar untuk "membunuh terpidana", sebaliknya kalau pakai yang kejaksaan, mana wewenang hukumnya, rinciannya mana, biar jelas," katanya.

Finno sendiri mengakui cukup sulit untuk mencari sumber dan rincian dana yang digunakan dalam pelaksanaan eksekusi mati gelombang tiga. Perhitungan yang digunakan oleh Fitra sendiri merujuk pada temuan anggaran eksekusi mati gelombang dua yang dilaksanakan pada 2015 lalu.

Namun, indikasi penyalahgunaan serta adanya double budget, Finno menyebutkan telah terjadi sejak eksekusi mati gelombang pertama. Selain itu, rincian yang ditemukan selalu berasal dari Kejaksaan Tinggi Banten dan Semarang.

"Yang jadi permasalahan di sini, kenapa dua lembaga itu harus mengajukan? Yang punya wewenang menembak juga Brimob, kenapa jaksa ikut-ikutan mengajukan? Dan perlu diingat, satu napi memang bisa menghabiskan dana Rp200 juta?," pungkas Finno.

Kejaksaan Agung sebelumnya menyatakan pihaknya menunda eksekusi hukuman mati terhadap sepuluh terpidana lainnya. Penundaan itu dilakukan berdasarkan kajian komprehensif yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum bersama dengan kepolisian, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM.

"Sepuluh lainnya ditentukan kemudian dan akan dieksekusi pada saat yang tepat,” kata Jaksa Agung H.M. Prasetyo pada akhir Juli lalu.

Sumber: CNN
Editor: Udin