Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dituduh Membunuh, 9 Sekuriti Mencari Keadilan

Andai Nurdin dan Suprianto Takluk
Oleh : Ali/ Shodiqin
Selasa | 06-09-2011 | 12:34 WIB
nurdin.jpg Honda-Batam

Nurdin (kiri) didampingi Sutan Siregar (berpeci). batamtoday.

Lamat-lamat sudah suara rintihan kesakitan itu terdengar. Sayup-sayup saja terdengar, bagai suara anjing yang melolong di kejauhan. Tak nyata, semakin jauh?

Itulah dendang sekuriti (satuan pengamanan) yang terseret kasus pembunuhan Putri Mega Umboh. Nyaring bunyinya ketika lebam-lebam di tubuh mereka belum terbayarkan. Begitu nyata teriakan tujuh sekuriti --dari sembilan sekuriti-- itu menyatakan "polisi penganiaya". Tapi, bagaimana kini, ketika polisi menyiram "garam" penyedap buat mereka?

Sembilan sekuriti, yang pada mulanya bekerja di CV Zito Sasa, bertugas di Perumahan Anggrek Mas 3, Batam tersebut, adalah tersangka pembunuhan Putri Mega Umboh, istri AKBP Mindo Tampubolon. Mereka, yakni Nurdin Harahap, Suprianto, Dodo, Baharuddin, Sahrul Harefa, Yoachim, Andreas, Adnan dan Aris.

Sekadar untuk diingat, Putri Mega Umboh adalah korban pembunuhan yang ditemukan dengan kondisi mengenaskan di hutan Telaga Punggur, Kota Batam, Kepulauan (Kepri), Minggu 26 Juni 2011. Putri ditemukan tewas dalam mobil Nissan X Trail BP 24 PM milik suaminya dengan empat luka tusukan di dada dan leher tergorok. Mayatnya kemudian dimasukkan ke dalam koper dan dibuang ke jurang dekat SMPN 17 Telaga Punggur tersebut. Kemudian, Ujang dan Ros ditangkap dan ditahan sebagai tersangka pembunuh. Tak berapa lama kemudian, 9 sekuriti ditangkap. Lalu, 7 di antaranya dijadikan tersangka.

Sebagai tersangka pembunuhan, tujuh sekuriti itu pun meringkuk di tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Batam Kota selama dua hari dan ditahan di Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Riau (Kepri) selama sebulan lebih: pada Senin 27 Juni 2011 ditangkap dan ditahan lalu pada Sabtu 30 Juli 2011 penahanannya ditangguhkan.

Sementara 2 sekuriti lainnya yakni Adnan dan Aris dibebaskan setelah ditahan di Polsek Batam Kota selama dua hari dan ditahan di Polda Kepri empat hari.

Kesembilan sekuriti tersebut mengaku disiksa di dalam tahanan. Khusus untuk tujuh securiti, mereka dianiaya karena dipaksa mengaku sebagaimana Berita Acara Pemeriksaan (BAP) I Ujang dan Ros, yakni bahwa para sekuriti itu terlibat pembunuhan.

Pada saat dianiaya, kedua tangan mereka ditarik dari belakang. Penganiayaan terjadi pada saat mereka berada di tahanan Polda Kepri. "Hari pertama saya ditahan, saya disuruh mengakui ikut pembunuhan dan pemerkosaan, dengan kedua tangan ditarik. Saya juga dipukuli pakai kayu ke seluruh badan, kepala dan dada, hingga pingsan selama tiga hari," ujar Nurdin, didampingi kuasa hukumnya, Sutan Siregar, Sabtu (30/7/2011) malam.

Pria bertubuh tinggi dan tegap ini juga mengakui sudah puluhan kali menjalani penyidikan. Nurdin pernah dianiaya oleh 20 orang anggota posisi sekaligus. "Saya tidak tahu apa yang terjadi lagi pada saat itu, 20 kaki berada di sekujur tubuh saya. Sehingga sampai sekarang ini saya masih merasakan nyeri-nyeri pada dada dan sakit pada bagian kepala," tutur Nurdin.

Sementara itu, Wakil Direktur Ditreskrim Polda Kepri AKBP Wiyarso tidak bersedia untuk dikonfirmasi. "Tidak ada komentar-komentaran," ujarnya sembari ngacir dari batamtoday.

Lantas, kabar penganiayaan polisi, dalam hal ini penyidik, terhadap securiti pun menyeruak. Terutama, kabar penyiksaan polisi terhadap tujuh securiti yang berstatus tersangka ramai menjadi headline media massa di Kepulauan Riau.

Dan, usai penangguhan penahanan, tujuh securiti itu pun menyalak! Kisah penganiayaan polisi terhadap Nurdin Harahap, Suprianto, Dodo, Baharuddin, Sahrul Harefa, Yoachim dan Andreas, menjadi top news dan menimbulkan rasa empati masyarakat.

Ketika Nurdin dan Suprianto Berteriak Mencari Keadilan
Terseret kasus pembunuhan Putri, Nurdin (42) dan Suprianto (32) pun hendak mempraperadilan-kan Kapolda Kepri.

Kuasa hukum Nurdin Harahap dan Suprianto, Sutan J Siregar, akan mempraperadilankan Kepolisian, dalam hal ini Kapolda Kepulauan Riau (Kepri).

Sutan hendak mengajukan tuntutan praperadilan, dengan pihak yang dituntut Kapolda Kepri. Alasannya, Polda telah melakukan salah tangkap dan salah tahan terhadap Nurdin dan Suprianto.

Menurut Sutan, polisi melakukan penangguhan penahanan karena kedua tersangka tersebut, yakni Nurdin dan Suprianto, tidak terbukti terlibat dalam kasus pembunuhan Putri Mega Umboh, istri dari Kasubdit Ditreskrimsus Polda Kepri AKBP Mindo Tampubolon.

"Saat ini kita sedang menyusun tuntutan prapeadilan," ujar Sutan kepada batamtoday, Selasa (2/8/2011).

Sutan mengatakan, bila surat tuntutannya telah selesai, maka pihaknya akan secepatnya mendaftarkan praperadilan ke Pengadilan Negeri Batam.

Sutan menuturkan, kedua kliennya itu ditangkap pada Senin 27 Juni 2011 dan di tahan di Polda Kepri terhitung sejak Selasa 28 Juni 2011. Nurdin dan Suprianto dituduh telah melakukan pembunuhan terhadap Putri Mega Umboh, dengan pelanggaran terhadap pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Ketika itu penyidik mengeluarkan surat perintah penahanan selama 20 hari terhitung tanggal 28 Juni 2011. Langsung dikenakan pasal 340 KUHP, yang berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun," ujarnya.

Tambah Sutan lagi, setelah adanya surat perpanjangan penahan di Kejaksaan Tinggi Kepri selama 40 hari tertanggal 18 Juli 2011, Kejaksan Tinggi mengenakan pasal 340 KUHP Jo pasal 55 ayat ke 1 KUHP, bahwa pelaku ikut serta dan menyuruh melakukan atau membujuk melakukan.
 
Namun, belakangan diketahui, upaya praperadilan itu gagal. Soalnya setelah dipikir-pikir lagi, upaya-upaya lain lebih penting untuk didahulukan.

Lantas, Nurdin dan Suprianto melaporkan pihak penyidik atas tindak pidana penganiayaan dan penyiksaan saat proses penyidikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Polda Kepri pada Rabu (3/8/2011).

"Kedua klien kita melaporkan masalah penganiayaan secara terus menerus yang mengakibatkan sekujur tubuh mengalami luka-luka, lebam, benjol, memar dan rasa sakit yang tak tertahankan sehingga tak sadarkan diri, oleh penyidik pada saat dilakukan proses BAP," ujar Sutan kepada batamtoday di Mapolda Kepri.

Sutan mengatakan, kedua kliennya itu mengalami penganiayaan dan penyiksaan selama 34 hari ketika menjalani penyidikan.

Sebelumnya pada 18 Juli 2011, Sutan sudah melaporkan perihal penyiksaan dan kasus salah tangkap ke Dit Propam Polda Kepri atas pelanggaran profesi penyidik.

Upaya mencari keadilan berlanjut. Nurdin dan Suprianto mengadu ke Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

"Kami akan melayangkan surat pengaduan ke Mabes Polri. Klien kami harus segera mendapatkan keadilan dari kesewenang-wenangan polisi yang main tangkap dan main tahan. Nurdin dan Suprianto juga disiksa penyidik," ujar Sutan kepada batamtoday, Minggu (7/8/2011).

Rencananya, Senin (8/8/2011), Sutan akan melayangkan surat pengaduan tersebut ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), melalui Kantor Pos Nagoya, Batam.

Menurut Sutan, Nurdin dan Suprianto harus segera mendapatkan keadilan. Mereka tidak bersalah, namun polisi dari Polda Kepri telah menangkap, menahan dan menganiaya Nurdin dan Suprianto.

Kini, Nurdin dan Suprianto memang telah berada di luar tahanan, namun dengan statusnya yang wajib lapor setiap Senin dan Kamis, juga menunjukkan bahwa tim penyidik tak juga mencoba melangkah untuk berbuat adil kepada dua mantan sekuriti perumahan Anggrek 3 Batam itu.

Seperti diketahui, Nurdin dan Suprianto mendapatkan penangguhan penahanan, namun itu berarti status mereka tetap tersangka. Karena itulah, "Kami mengadukan nasib mereka yang teraniaya dan terzalimi ke Mabes Polri," ucap Sutan.

Puncaknya, Nurdin dan Suprianto melaporkan kasus penganiayaan kepada Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada Rabu (3/8/2011).

"Perbuatan pemukulan dan penyiksaan yang dilakukan polisi terhadap kedua klien saya adalah bentuk pelanggaran HAM yang berat," ujar Sutan Siregar, pengacara yang ditunjuk Ikatan Keluarga Batak Islam (IKBI) Kota Batam kepada batamtoday, Selasa (2/8/2011).

Sutan menambahkan, pelanggaran HAM yang dialami kedua kliennya itu mulai dari proses penangkapan, penahanan dan penyiksaan yang dialami Nurdin dan Suprianto agar bersedia mengaku terlibat dalam kasus pembunuhan Putri Mega Umboh. Karena itulah, pihaknya melapor ke Komnas HAM.

Tak cukup melapor secara tertulis, Suprianto bersama Sutan mendatangi Komnas HAM. Suprianto melapor ke Komnas HAM, pada Selasa (16/8/2011). "Suprianto sudah jelaskan kronologis di depan Anggota Komnas HAM, yang juga dihadiri Anggota Kompolnas dan Mabes Polri, di Komnas HAM," ujar Sutan.

Sutan mengatakan, laporan Suprianto langsung di hadapan Komnas HAM, namun laporan kliennya itu hanya untuk melengkapi data kronologis pada saat sekuriti ini dianiaya penyidik Ditreskrimum Polda Kepri.

Komnas HAM pun segera turun ke Kepri. Komnas HAM mengklarifikasi dan meminta keterangan Polda Kepri mengenai ulah polisi yang menganiaya 9 sekuriti dalam penahanan. Diketahui, proses pemeriksaan yang dilakukan Propram Polda Kepri terhadap para oknum polisi penganiaya akan tuntas pada September mendatang.

Menurut Komisioner Komnas HAM Johny Nelson Simanjuntak, yang mengklarifikasi dan meminta keterangan kepada Kabid Propam Polda Kepri AKBP Yacobus Sukirno, bahwa Propam telah memeriksa 9 personil polisi yang diduga menganiaya 9 sekuriti tersebut.

"Kabid Propam Polda Kepri menyatakan bahwa pemeriksaan yang dilakukan terhadap 9 orang polisi yang menjadi terperiksa, akan selesai pada September 2011," kata Johny kepada batamtoday di Batam, usai menyambangi Polda Kepri pada Rabu (24/8/2011).

Uang Membuat Nurdin dan Suprianto Takluk?
Upaya mencari keadilan yang dilakukan Nurdin dan Suprianto sudah maksimal. Namun, entah bagaimana, Nurdin dan Suprianto sepertinya berubah: dari sikap antipati kepada polisi penganiaya menjadi agak bersahabat dengan mereka. Setidaknya, teriakan lantang kedua orang ini mengendur.

Mulanya adalah datangnya tawaran umroh bagi Nurdin dan Suprianto –demikian pula bagi tersangka lima sekuriti lainnya: umroh bagi yang beragama Islam dan pergi ke Jerusalem bagi non Islam—dari Kapolda Kepri Brigjen Pol Budi Winarso.

Ketujuh sekuriti dipanggil untuk menemui Budi Winarso, di Mapolda Kepri, Jum'at (12/8/2011. "Kapolda langsung yang mengatur upaya damai itu," kata Sutan kepada batamtoday di Batam, Kamis (11/8/2011).

Raden Budi Winarso menjanjikan angin surga, apabila para sekuriti bersedia mencabut laporannya atas tindak penganiayaan yang dilakukan oleh beberapa polisi Polda Kepri terhadap ketujuh sekuriti tersebut.

Kapolda juga menjanjikan semua biaya pengobatan dan kerugian yang diderita ketujuh sekuriti itu. "Semua akan ditanggung Kapolda, bila mereka bersedia mencabut laporan itu. Ini sangat berbahaya," ujar Sutan.

Selain seluruh biaya kerugian dan kesehatan, Kapolda juga menjanjikan kepada sekuriti untuk umroh ke Mekkah bagi yang beragama Islam. Sedangkan yang beragama non Islam, dijanjikan ke Jerusalem.

Maka, bertemulah para sekuriti itu dengan pejabat Polda Kepri di ruangan Dir Reskrimum, pada Jum’at (12/8/2011). Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Rekrimum) Polda Kepri, Kombes Wibowo menjamu tujuh mantan sekuriti CV Zito Sasa yang dijadikan tersangka dalam kasus pembunuhan Putri Mega Umboh, sekaligus melakukan perundingan terkait permintaan perdamaian dari pihak polisi.

Usai pertemuan, Wibowo menyerahkan bingkisan uang titipan Kapolda Kepri Brigjen Pol Raden Budi Winarso kepada para tersangka yang dianiaya polisi tersebut.

"Tadi ada bingkisan dari Pak Kapolda yang diberikan Pak Wibowo kepada kami," ujar salah satu
tersangka sekuriti, Nurdin, kepada batamtoday di Batam Center.

Nurdin menyebutkan, bingkisan itu berisi uang sebesar Rp 17 juta untuk empat orang sekuriti yang telah dikemas dengan kantong kertas berwarna kemerahan.

Menurut Nurdin, uang yang diberikan merupakan dana bantuan atas penyesalan dan pertanggungjawaban dari Kapolda atas tuduhannya kepada para sekuriti ikut terlibat dalam pembunuhan Putri Mega Umboh.

"Yang saya tahu, empat orang itu adalah Suprianto, Sahrul, Ododogo (Dodo --red) dan saya sendiri. Kami masuk duluan pada saat dipanggil Pak Kapolda," katanya.

Nurdin menyebutkan, uang yang telah diterimanya maupun yang diterima sekuriti lain, merupakan yang kedua kalinya. Yang pertama, pada pertemuan Selasa 9 Agustus 2011 lalu, dia juga telah menerima uang jutaan rupiah.

"Kalau yang pertama, masing-masing kami menerima Rp 5 juta," ucap Nurdin, yang tidak mengetahui kenapa ketiga rekannya yang lain tidak menerima pemberian yang kedua kalinya.

Sementara itu, Baharudin, Yoachim dan Andreas mengaku tidak menerima dana yang kedua yang diberikan Kapolda melalui Dir Reskrimum. "Saya tidak tahu pemberian yang kedua. Yang saya tahu kemarin Selasa, kami semua menerima uang masing-masing Rp 5 juta," ujar salah seorang dari mereka.

Jadi, tujuh sekuriti yang terseret kasus pembunuhan Putri Mega Umboh, telah menerima bingkisan uang sejumlah Rp 52 juta dari Kapolda Kepri Brigjen Pol Raden Budi Winarso.

Itu berarti, Nurdin dan Suprianto, masing-masing telah menerima uang pemberian Kapolda Kepri Rp 9.250.000,- Itu kalau uang pemberian kedua Rp 17 juta dibagi rata untuk empat sekuriti, yakni Nurdin, Suprianto, Sahrul dan Dodo.

Kuasa hukum Nurdin dan Suprianto, Sutan J Siregar, mengaku kaget dengan apa yang telah terjadi. Uang yang diterima kedua kliennya  itu diketahui setelah keluar dari Mapolda Kepri.

Sutan, selaku kuasa hukum, ketika hendak mendampingi kliennya dalam pertemuan para sekuriti
dengan Kapolda Kepri, mengaku dihalang-halangi petugas atas dasar perintah Kapolda Kepri.

"Iya, saya baru tahu setelah keluar dari Polda Kepri. Awalnya kedua klien tidak mau cerita, setelah saya tanyakan terus, akhirnya mereka baru mau terbuka," ujar Sutan kepada batamtoday, Sabtu (13/8/2011).

Tiga hari kemudian, Selasa (16/8/2011), Nurdin mencabut kuasa dari Sutan J Siregar. Selang sehari, Rabu (17/8/2011) malam, Suprianto juga mencabut kuasa.

"Staf saya yang menerima langsung berkas yang diantar Nurdin maupun Suprianto. Tapi dari mana mereka bisa mengkonsep dan mencetak berkas cabutan kuasa itu kalau tidak ada yang mengarahkan," ujar Sutan, sembari menyebutkan ada aktor yang mempengaruhi untuk mencabut kuasa.

Tujuan aktor yang menekan kliennya itu, kata Sutan, agar Nurdin tidak lagi menuntut para penyidik Ditrekrimum Polda Kepri yang telah melakukan penganiayaan terhadap para sekuriti selama mereka ditahan.

"Saya tidak dapat melarang yang bersangkutan untuk menarik kuasanya, tapi kenapa pencabutan kuasa ini mendadak. Ada apa ini semua," kata Sutan.

Menurut Sutan, tanda ketidakberesan masalah ini mulai dirasakannya saat Ikatan Keluarga Batak Islam (IKBI) yang sebelumnya menaungi kliennya itu, mulai menjauh pada saat sekuriti ini berhasil ditangguhkan penahanannya.

Sutan membeberkan, terjadinya ketidakberesan mulai dicurigainya ketika dirinya akan membawa Nurdin, Suprianto dan Sahrul, ke Jakarta menuju Komnas HAM. Waktu itu, Senin (15/8/2011), Nurdin dan Sahrul menyatakan tidak ingin ke Komnas HAM.

"Saya anggap mereka semua kacang lupa kulit. Kenapa setelah saya berhasil membuat orang-orang ini ditangguhkan penahanannya, saya diperlakukan seperti ini," ujar Sutan kecewa.

Sejak Nurdin dan Suprianto mencabut kuasa dari Sutan, kedua orang yang pernah merasakan siksaan polisi ini tak lagi berteriak-teriak menuntut keadilan.

Kini, suara Nurdin dan Suprianto sayup-sayup saja terdengar, bagai suara anjing yang melolong di kejauhan. Tak nyata, semakin jauh?

Bahkan, sang mantan kuasa hukum Nurdin dan Suprianto, Sutan J Siregar, merasa sendirian untuk tetap berjuang. Mengutip Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM), Sutan Siregar berujar “Fiat justitia ruat caelum”. Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh!