Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jabatan Bukan untuk Dibagi-bagi
Oleh : Opini
Kamis | 23-06-2016 | 13:10 WIB

Oleh: Amril Jambak*

MASA kepemimpinan Joko Widodo dengan Wapres Jusuf Kalla sudah tidak asing lagi kita mendengar adanya bagi-bagi jabatan. Ini diawali dengan bagi-bagi menteri di awal pemerintahan pasangan yang didukung PDIP, Nasdem, PKB, dan sejumlah partai lainnya.

Tidak sampai disana, bagi-bagi jabatan juga dilakukan untuk orang yang berjasa mengantarkan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wapres, di antaranya jabatan komisaris sejumlah BUMN.

Saat ini yang muncul kepermukaan adalah isu perombakan kabinet (reshuffle). Isu ini sudah lama beredar. Tidak hanya menteri, reshuffle juga disebut-sebut akan terjadi di pucuk pimpinan Badan Intelijen Negara (BIN).

Seperti yang dirilis dari detik.com, posisi Kepala BIN memang akan diganti oleh Jokowi. Pergantian Kepala BIN akan dilakukan bersamaan dengan pelantikan Komjen Tito Karnavian menjadi Kapolri.

Tentunya kita bertanya-tanya, ada apa dengan Sutiyoso. Padahal pria yang terakhir berpangkat Letnan Jenderal (Letjend) Purnawirawan sendiri dilantik menjadi Kepala BIN pada Rabu (8/7/2015). Artinya, jabatan tersebut disandang pria kelahiran Semarang 6 Desember 1944 tersebut hampir 1 tahun.

Apakah pergantian ini dikarenakan Sutiyoso tidak mampu memimpin Badan Intelijen Negara (BIN). Wallahu Alam Bishawab.

Tapi yang jelas, hingga saat ini keputusan Presiden Joko Widodo menunjuk Sutiyoso menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dianggap punya kemampuan.

Dari jpnn.com, penilaian itu datang dari Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tom Pasaribu. Menurut Tom, sosok Sutiyoso jelas punya pengalaman di bidang intelijen karena pernah menjadi bagian dari grup Sandi Yudha di Kopassus.

Tom bahkan menyebut Sutiyoso merupakan figur yang tepat untuk memimpin BIN saat ini. Sebab, fungsi intelijen bukan hanya demi deteksi tetapi juga penggalangan.

Lebih lanjut Tom membeber bukti tentang kemampuan Sutiyoso. Salah satunya ketika mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus itu mengamankan wilayah DKI Jakarta pasca-kerusuhan 1998.

Dilihat dari kinerja yang telah dilakukan BIN yang dipimpin Sutiyoso selama 1 tahun kurang ini, setidaknya BIN sudah banyak memberikan masukan-masukan terhadap aksi-aksi radikalisme yang terjadi di Tanah Air.

Bahkan dalam kurun waktu tersebut, BIN pun telah melakukan langkah antisipasi dan mendeteksi terhadap gerakan-gerakan separatisme yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Desakan PDIP
Pergantian Kepala BIN tersebut digulirkan oleh PDIP. Sejumlah media sebelumnya melansir pernyataan TB Hasanuddin, Anggota Komisi I yang melontarkan pendapat mengenai pergantian Kepala BIN. Dalam pemberitaan tersebut, Hasanuddin menyebut BG sebagai figur Kepala BIN yang tepat.

Dengan ditunjuknya Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo membuat lingkaran PDIP gerah. Padahal partai pendukung Jokowi itu menginginkan agar posisi nomor satu di jajaran korps baju coklat itu Komjen Budi Gunawan.

Desakan dari PDIP pun kembali bergulir. Tidak mendapat posisi Kapolri, para politisi PDIP kembali mendesak presiden agar menempatkan posisi BG sebagai kepala BIN.

Menanggapi adanya desakan itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti meminta Presiden Jokowi tak memenuhi permintaan agar Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Gunawan untuk menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Menurut Ray, Jokowi harus menolak permintaan PDIP nama Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Alasannya, kasus kepemilikan rekening gendut, korupsi, dan gratifikasi, yang sempat menyeret Budi Gunawan, hingga kini masih menjadi perdebatan.

Penolakan posisi BIN untuk Budi Gunawan pun datang dari Koalisi Masyarakat Sipil. Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil yang juga Ketua Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Juntho mengatakan, Budi Gunawan tidak layak untuk menjabat sebagai Wakapolri maupun Kepala BIN.

Secara integritas Budi Gunawan pernah berstatus sebagai tersangka korupsi suap dan gratifikasi ketika menjabat. “Meskipun status hukumnya sebagai tersangka dibatalkan melalui putusan pra peradilan yang kontrovesial, namun perkara korupsi yang menimpa Budi Gunawan saat ini tetap dalam proses penyidikan atau penyelidikan. Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan menolak Budi Gunawan menjadi Kepala BIN,” kata Emerson (17/6/2016).

Menurut Emerson, pertimbangan pertama adalah, pemilihan pejabat publik tidak didasarkan pada politik dagang sapi atau balas budi. Penunjukan pejabat harus didasari pada aspek kepemimpinan, integritas, rekam jejak, kapasitas dan komitmen yang kuat dalam mendorong agenda reformasi dan antikorupsi.

Sementara pertimbangan kedua adalah, harus dipastikan bahwa pejabat yang nantinya dipilih tidak bermasalah atau berpotensi menimbulkan masalah.

Direktur Center For Budget Analysis (CBA), Ucok Sky Khadafi mengatakan,jika kini BG kembali diusulkan menjadi Kepala BIN, maka nuansa politik balas budinya terlalu kelihatan.

Seperti diketahui, Budi Gunawan adalah mantan ajudan Presiden Megawati dan dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan PDIP. “Pak TB Hasanuddin, ngomongnya terlalu politis,” ucapnya.

Pada akhirnya, tentunya kita menunggu keputusan Presiden Joko Widodo. Hendaknya dalam menempatkan seseorang hendaknya dilandasi dengan berbasis profesionalisme, bukan kedekatan. Jabatan bukan untuk dibagi-bagi.

*) Penulis adalah Peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI).