Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Kesaktian Kebiri dalam Melindungi Anak
Oleh : Redaksi
Rabu | 01-06-2016 | 10:50 WIB

Oleh: Achmad Irfandi

KEPUTUSAN Pemerintah untuk memberikan sanksi hukuman kebiri kimia dan alat deteksi elektronik ternyata menimbulkan berbagai polemik di masyarakat. Keseriusan Presiden Jokowi berupa penandatanganan Perppu Hukuman Kebiri seakan menjadi ancaman serius pada oknum yang memiliki keinginan melakukan aksi kejahatan seksual terhadap anak.

 

Namun di sisi lain, terdapat oknum yang menolak upaya tersebut atas alasan mengedepankan penegakkan HAM dan perjuangan menolak hukuman kebiri dengan alasan tidak akan menyelesaikan akar permasalahan dari kejahatan seksual terhadap anak. Sebelumnya, Presiden Jokowi menandatangani Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak. Perpu yang dikenal dengan nama Perppu Kebiri ini diteken untuk memberikan rasa aman bagi anak-anak. Pelaku kejahatan seksual anak akan mendapatkan hukuman berat. Menurut Jokowi, kejahatan seksual terhadap anak ditetapkan sebagai kejatuhan luar biasa karena kejahatan ini mengandung mengancam dan membahayakan jiwa anak. Untuk itu, lanjut dia, ruang lingkup Perppu ini mengatur pemberatan pidana pidana tambahan dan tindakan lain bagi pelaku kekerasan terhadap anak dan pencabulan dengan syarat syarat tertentu. Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprapta meragukan bahwa Perppu tersebut akan efektif. Sebab, dia menilai, bentuk nyata suatu aturan perundang-undangan terletak pada aplikasinya.

Dia menjelaskan, kepekaan pihak jaksa dan kemudian hakim seharusnya lebih menjadi fokus. Dia kemudian mengkritik isi Perppu tersebut. Menurutnya, hanya Indonesia yang memiliki ancaman hukuman pidana minimal 10 tahun penjara. Hal itu menunjukkan, penyusunan Perppu tersebut masih didominasi aspek emosional, alih-alih pertimbangan yang sistematis. Karenanya, Gandjar mengaku pesimistis pidana minimal 10 tahun itu akan lolos dalam pembahasan undang-undang dengan parlemen nanti. Gandjar menjelaskan, semestinya pemerintah juga meningkatkan upaya pencegahan kekerasan terhadap anak secara terstruktur dan sistematis. Misalnya dengan memperkuat program-program di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Sehingga, kementerian tersebut dapat lebih aktif melakukan prevensi hingga ke semua RT/RW di Tanah Air. Selain itu, penegak hukum juga mesti ditingkatkan kepekaannya dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Korban harus didampingi psikolog setiap kali pemeriksaan berlangsung di kepolisian. Sementara di lain pihak, Seorang ahli medis, ahli hukum pidana, dan korban kekerasan seksual menolak penerapan kebiri kimia dan hukuman mati kepada pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak. Sanksi yang diatur dalam peraturan pengganti undang-undang (perppu) kekerasan seksual terhadap anak itu dianggap sebagai putusan emosional, reaktif dan diragukan efektivitasnya.

Salah-satu kritikan terkait sanksi tambahan berupa kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual disuarakan oleh ahli neurologi, dokter Ryu Hassan. Dia mengatakan pengebirian hasrat seksual tidak akan otomatis menghilangkan kejahatan seksual para pelaku. Ryu juga mengatakan bahwa seksual "orang jahat" bukan karena orientasi seksual atau hasrat seksualnya. Tetapi, "kejahatan itu terletak pada pelampiasan terhadap

hasrat seksualitas itu," tandasnya. Karena itulah, dia tidak yakin sanksi kebiri itu akan berjalan efektif untuk membuat praktik kejahatan seksual akan berkurang kelak. Apabila Perppu ini nanti disetujui DPR, maka pihak eksekutor pengebirian terhadap pelaku akan diserahkan kepada dokter, maka tugas pengebirian itu bertentangan dengan kode etik kedokteran. Penolakan terhadap Perppu juga disuarakan oleh organisasi Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Anugerah Rizki Akbari mengatakan bahwa solusi menaikkan ancaman pidana mengafirmasi gagalnya pemerintah untuk menciptakan lingkungan aman dan nyaman yang mencegah terjadinya kekerasan seksual. Dengan demikian pemerintah memilih untuk menakut-nakuti warganya dengan ancaman pidana tinggi.

Dalam rilisnya, Anugerah dkk menyatakan, kebijakan menambah ancaman pidana selalu jadi kebijakan populis politisi di berbagai negara, namun kebijakan tersebut seringkali tidak menjawab dan menyelesaikan akar permasalahan terjadinya suatu tindak pidana. Dia mengatakan, efek jera yang selalu didengung-dengungkan sebagai alasan memperberat pidana, tidak lebih dari sekedar alasan retoris yang dibangun tanpa data yang jelas, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan. Hingga saat ini, tidak ada satu pun data yang bisa mengonfirmasi bahwa Indonesia sedang darurat kejahatan seksual terhadap anak, tambahnya.

Sementara itu, Anggota DPR dari Partai Gerindra, Supratman Andi mengatakan dirinya juga bisa menerima adanya sanksi berat kebiri kimia dan hukuman mati yang diatur dalam perppu. Dia meyakini sanksi berat itu akan memiliki efek jera kepada masyarakat. Dia juga tidak terlalu mengkhawatirkan sebagian pihak yang menganggap sanksi kebiri itu melanggar HAM. "Karena kebiri itu tidak permanen, tapi temporer," tegasnya. Sanksi kebiri kimia hingga hukuman mati memang hanya diberikan kepada pelaku dengan kesalahan berat.

Dan kebiri itu pun nantinya disertai proses rehabiltasi. Tetapi hukuman seperti ini tetap ditolak seorang penyintas atau korban kekerasan seksual, Shera Rindra, karena tidak sejalan dengan prinsip HAM. "Saya sebagai penyintas kekerasan seksual sangat kecewa," tegasnya. Pengesahan perppu hukuman kebiri tentunya merupakan cara pemerintah dalammenanggulangi kejahatan seksual terhadap anak yang dinilai telah meningkat secara signifikan di Indonesia. Banyak praktek kejahatan terhadap anak yang menyita perhatian dan keprihatinan banyak pihak.

Apabila perjuangan terhadap HAM pelaku kejahatan seksual menjadi alasan terhadap penolakan hukuman kebiri bagi anak, maka bagaimana jika kejahatan tersebut terjadi pada pihak dari pembela perjuangan HAM yang dikesan membela hak si pelaku. Apakah mereka akan tetap membela si pelaku jika telah merasakan menjadi korban kejahatan seksual terhadap anak mengingat segala hal yang bersangkutan dengan kejahatan seksual anak telah merugikan kita bersama. Bagaimanapun itu, pengesahan terhadap perppu hukumankebiri tentunya telah melalui berbagai pertimbangan dampak positif negatif dari diberlakukannya peraturan tersebut, maka jadilah masyarakat Indonesia yang baik dengan patuh terhadap hukum yang kita yakini bermanfaat bagi kita. hasrat seksualitas itu," tandasnya.

Karena itulah, dia tidak yakin sanksi kebiri itu akan berjalan efektif untuk membuat praktik kejahatan seksual akan berkurang kelak. Apabila Perppu ini nanti disetujui DPR, maka pihak eksekutor pengebirian terhadap pelaku akan diserahkan kepada dokter, maka tugas pengebirian itu bertentangan dengan kode etik kedokteran.

Penolakan terhadap Perppu juga disuarakan oleh organisasi Reformasi Sistem Peradilan Pidana MaPPI, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Anugerah Rizki Akbari mengatakan bahwa solusi menaikkan ancaman pidana mengafirmasi gagalnya pemerintah untuk menciptakan lingkungan aman dan nyaman yang mencegah terjadinya kekerasan seksual. Dengan demikian pemerintah memilih untuk menakut-nakuti warganya dengan ancaman pidana tinggi. Dalam rilisnya, Anugerah dkk menyatakan, kebijakan menambah ancaman pidana selalu jadi kebijakan populis politisi di berbagai negara, namun kebijakan tersebut seringkali tidak menjawab dan menyelesaikan akar permasalahan terjadinya suatu tindak pidana.

Dia mengatakan, efek jera yang selalu didengung-dengungkan sebagai alasan memperberat pidana, tidak lebih dari sekedar alasan retoris yang dibangun tanpa data yang jelas, valid, dan bisa dipertanggungjawabkan. Hingga saat ini, tidak ada satu pun data yang bisa mengonfirmasi bahwa Indonesia sedang darurat kejahatan seksual terhadap anak, tambahnya. Sementara itu, Anggota DPR dari Partai Gerindra, Supratman Andi mengatakan dirinya juga bisa menerima adanya sanksi berat kebiri kimia dan hukuman mati yang diatur dalam perppu. Dia meyakini sanksi berat itu akan memiliki efek jera kepada masyarakat.

Dia juga tidak terlalu mengkhawatirkan sebagian pihak yang menganggap sanksi kebiri itu melanggar HAM. "Karena kebiri itu tidak permanen, tapi temporer," tegasnya. Sanksi kebiri kimia hingga hukuman mati memang hanyadiberikan kepada pelaku dengan kesalahan berat. Dan kebiri itu pun nantinya disertai proses rehabiltasi. Tetapi hukuman seperti ini tetap ditolak seorang penyintas atau korban kekerasan seksual, Shera Rindra, karena tidak sejalan dengan prinsip HAM. "Saya sebagai penyintas kekerasan seksual sangat kecewa," tegasnya.

Pengesahan perppu hukuman kebiri tentunya merupakan cara pemerintah dalam menanggulangi kejahatan seksual terhadap anak yang dinilai telah meningkat secara signifikan di Indonesia. Banyak praktek kejahatan terhadap anak yangmenyita perhatian dan keprihatinan banyak pihak. Apabila perjuangan terhadap HAM pelaku kejahatan seksual menjadi alasan terhadap penolakan hukuman kebiri bagi anak, maka bagaimana jika kejahatan tersebut terjadi pada pihak dari pembela perjuangan HAM yang dikesan membela hak si pelaku.

Apakah mereka akan tetap membela si pelaku jika telah merasakan menjadi korban kejahatan seksual terhadap anak mengingat segala hal yang bersangkutan dengan kejahatan seksual anak telah merugikan kita bersama. Bagaimanapun itu, pengesahan terhadap perppu hukuman kebiri tentunya telah melalui berbagai pertimbangan dampak positif negatif dari diberlakukannya peraturan tersebut, maka jadilah masyarakat Indonesia yang baik dengan patuh terhadap hukum yang kita yakini bermanfaat bagi kita. *

Penulis adalah Pengamat Hukum dan Sosial