Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Negara 'Harus Ambilalih' Agen Penyalur TKI
Oleh : Redaksi
Jum'at | 18-03-2016 | 09:50 WIB
tki_hongkong_by_afp.jpg Honda-Batam
Sejumlah perempuan buruh migran asal Indonesia di Hong Kong memprotes aksi kekerasan yang menimpa rekannya. (Foto: AFP)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kasus kekerasan yang dialami buruh migran asal Indonesia di Hong Kong, Erwiana, menimbulkan kemarahan dunia.

Kelemahan terbesar negara dalam perlindungan perempuan buruh migran dan keluarganya adalah buruknya sistem hukum dan kebijakan buruh migran, kata LSM Solidaritas Perempuan.

Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya, kebijakan yang ada dianggap belum memberi dampak terhadap jaminan perlindungan hak-hak mereka.

Hal itu terlihat dari paradigma dalam sistem hukum dan kebijakan Indonesia tentang buruh migran yang masih menempatkan mereka sebagai komoditas belaka, kata Koodinator program Solidaritas Perempuan, Nisaa Yura, di Jakarta, Kamis (17/03).

"Dalam UU nomor 39 tahun 2004 masih terlihat paradigma yang menjadikan buruh migran sebagai komoditas, dan bukan melihat mereka sebagai warga negara yang wajib untuk dilindungi, dihormati dan dipenuhi hak-haknya," kata Nisaa.

Praktek seperti itu, menurut Solidaritas Perempuan, terlihat dari keberadaan agen penyalur swasta - Perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) - yang masih menempatkan pembantu rumah tangga asal Indonesia sebagai komoditas ekonomi semata.

"Kalau dipegang swasta, paradigma mereka adalah mengambil keuntungan. Sehingga buruh migran yang tidak ikut pelatihan, tapi mereka akhirnya mendapat sertifikat dan akhirnya diberangkatkan. Mereka (agen penyalur) itu dapat uang," ungkap Nisaa.

Karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah mengambil alih tugas PJTKI. "Tanggungjawab itu harus diambil oleh pemerintah," tandasnya.

RUU PPILN dan Konvensi PBB 1990

Saat ini, DPR dan pemerintah tengah mengkaji ketentuan-ketentuan Konvensi PBB Tahun 1990 yang perlu diadopsi dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN).

RUU ini disiapkan sebagai pengganti UU No. 39 Tahun 2004 yang mengatur masalah yang sama, karena dianggap masih menempatkan buruh migran sebagai komoditas belaka.

"Selama ini logika yang digunakan yakni penempatan, padahal proses migrasi merupakan hak," kata Menteri Ketenagakerjaan, M Hanif Dhakiri dalam rapat kerja RUU PPILN di DPR, pertengahan Januari 2016 lalu.

Menurutnya, dengan memandang migrasi sebagai hak, maka pemerintah perlu memberi kepastian dan perlindungan bagi buruh migran sejak awal. "Misalnya, terkait informasi pasar kerja di luar negeri harus dijamin bahwa informasi itu benar dan tepat. Bukan informasi yang berasal dari calo," ujarnya.

Kala itu, Hanif juga mengharapkan RUU PPILN harus selaras dengan Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, yang telah diratifikasi melalui UU No. 6 Tahun 2012.

Koodinator program Solidaritas Perempuan, Nisaa Yura, mengharapkan Konvensi tersebut dicantumkan dalam rancangan undang-undang tersebut sebagai landasan yuridis.

Hal ini dia tekankan, karena selama ini "Konvensi Migran '90 tidak dijadikan landasan bagi kebijakan buruh migran di tingkat daerah dan penanganan kasus kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran."

Dalam berbagai kesempatan menteri ketenagakerjaan berharap, seperti termaktum dalam Konvensi PBB 1990, dalam pasal-pasal awal RUU PPILN dapat menjelaskan secara rinci hak-hak buruh migran. Dan, "pasal berikutnya menguraikan secara jelas apa saja kewajiban negara," tambahnya.

Kasus-kasus kekerasan yang menimpa buruh migran perempuan masih terus terjadi. Akhir Februari lalu, Pengadilan Hong Kong menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda senilai 15.000 dolar HK atau Rp24 juta, terhadap majikan Erwiana, dalam kasus penyiksaan TKW asal Indonesia itu.

Law Wan-tung, 44 tahun, terbukti bersalah atas 18 dari 20 dakwaan, termasuk menganiaya, intimidasi kriminal dan tidak membayar gaji Erwiana Sulistyaningsih, dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun penjara. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani