Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Beban Itu Tak Menjadikan Solihin Patah Arang
Oleh : Harjo
Jum'at | 18-03-2016 | 08:00 WIB
22222.jpg Honda-Batam
Solihin di dapur arangnya yang berproduksi tiga bulan sekali. (Foto; Harjo)

SEMBILAN tahun, kayu arang menopang kehidupan Solihin (55), warga Desa Lancangkuning, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan. Ya, kayu arang itulah yang mengantarkan Solihin bersama dengan tiga orang anak dan seorang istrinya yang lumpuh merajut hari. Begaimana kisah seorang Solihin itu? Berikut liputan wartawan BATAMTODAY.COM, Harjo. 

Sebelum peristiwa tragis itu menimpa Sukarni (45), istri Solihin, hari-hari terasa begitu indah bagi pekerja serabutan itu. Hingga tiga buah cinta mereka lahir, menghiasi keindahan hidup pasangan suami istri itu. Tapi catatan nasib berkata lain, Sukarni mengalami kecelakaan lalu lintas parah. Kedua kakinya pun patah, dan sejak itu dia lumpuh. 

Kini, semua kegiatan Sukarni dilakukan di rumah sambil ngesot. Ya, ngesot. Tapi dia beruntung, memiliki suami tangguh bernama Solihin. Tetap bertanggung jawab dan kelumpuhan itu tak meluncurkan cintanya. Maka, sejak itulah, Solihin memutuskan untuk bekerja di rumah menemani istrinya, menjadi penghasil kayu arang.  

"Setelah istri mengalami kecelakaan, maka untuk biaya perawatan dan pendidikan tiga anaknya yang masih kecil, maka saya putuskan untuk mencari kegiatan sebagai penopang hidup.  Saat itu mulai terpikir untuk membuat arang bahan baku dari kayu," kenang Solihin.

Solihin menuturkan, untuk menafkahi istri dan tiga anaknya, selama bertahun-tahun dia hanya mengandalkan pendapatan dari hasil menjual arang kayu bakar. Semua itu dia produksi secara manual. Itu pun diproduksi setiap tiga bulan sekali. Sekali  produksi hanya mampu memproduksi sekitar 500 kg arang, harga perkilonya Rp 4.500/kg.

"Hasil penjualan arang rata-rata pendapatannya tidak lebih dari Rp1 juta. Itulah yang menghidupi kami selama sekitar 9 tahun. Termasuk biaya anak-anak sekolah," tutur Solihin.

Selain memproduksi arang, yang cukup berat adalah untuk mendapatkan kayu bahan baku arang. Untuk mendapatkan bahan baku, dia berharap dari pemberian para tetangganya, seperti pohon rambutan dan pohon lainnya yang sengaja ditebang.

"Selain mencari sisa warga yang menebang pohon, juga berharap apabila ada masyarakat yang menebang pohon. Sisa dari yang dimanfaatkan oleh pemiliknya, baru dimanfaatkan untuk membuat arang. Sehingga tidak bisa buru-buru memproduksinya. Kalau untuk pemasaran memang tidak terlalu sulit, karena banyak yang membutuhkan," tuturnya. 

Saat ini, tiga anaknya masing-masing, Fajar Wati (17), Kurniati (15) dan Angga Andika (12) mulai tumbuh menginjak remaja dan dewasa. Beban hidupnya sedikit bekurang, karena putri sulungnya sudah tamat SMA dan memilih untuk langsung mencari kerja, sekaligus sebagai tulang punggung dari keluargan Solihin.

Kesabaran dan ketekunan, terbukti berhasil mengawal Solihin melewati hari-hari bersama istri yang lumpuh dan tiga anaknya. Meski seorang anaknya telah "mentas", tapi hidup masih belum lagi berakhir. Kayu arang masih harus terus diproduksi. Dengan kesabaran dan keikhlasan itulah yang membat Solihin tak patah arang menghadapi beban hidup. 

Editor: Dardani