Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perdamaian Indonesia, Antara BIN dan Din Minimi
Oleh : Opini
Selasa | 12-01-2016 | 11:39 WIB
sutiyoso.jpg Honda-Batam
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso.

Oleh: Otjih Sewandarijatun*

"PERJUANGAN" Nurdin Ismail alias Din Minimi beserta 120 orang anggotanya di Aceh telah berakhir, setelah pimpinan kelompok bersenjata paling dicari di Aceh ini mengadakan 'win win negotiation' dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso. Pertemuan untuk membujuk Din Minimi berlangsung lama. Bahkan, Sutiyoso sempat bermalam di rumah Din Minimi di Desa Ladang Baro Kecamatan Julok, Aceh Timur. Menurutnya, selama di rumah itu terus dilakukan pembahasan agar Din Minimi beserta anak buahnya segera turun gunung. Din Minimi dan kelompoknya menyerahkan 15 pucuk senjata terdiri dari jenis AK 47 sebanyak 13 pucuk, SS1 satu pucuk, FNC satu pucuk dan pelontar granat satu pucuk dan amunisi.

Ada beberapa resep mengapa BIN berhasil membawa turun kelompok Din Minimi yaitu: pertama, Kepala BIN Sutiyoso patuh dengan perintah Presiden Jokowi agar dalam menyelesaikan permasalahan dilakukan melalui dialog, komunikasi, silaturahmi dan secara damai yang dikenal dengan istilah soft approach.

Kedua, Kepala BIN Sutiyoso juga menggunakan perantara yaitu Fasilitor Perdamaian Aceh, Juha Chirstensen. Alasan Sutiyoso meminta bantuan Juha, karena mempunyai banyak akses ke mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) disebabkan Juha juga terlibat panjang dalam proses perdamaian di Aceh selama bergabung dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) pasca penandatanganan MoU Helsinki.

Ketiga, tuntutan yang disampaikan Din Minimi kepada Sutiyoso cukup masuk akal dan mudah untuk direalisasikan baik oleh Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat. Tuntutan Din Minimi antara lain reintegrasi GAM, pemerintah memperhatikan yatim piatu, memperhatikan para inong balee (janda GAM) agar mereka sejahtera. Selain itu, permintaan lain adalah agar KPK turun ke Aceh karena Din Minimi menilai ada sesuatu yang tidak beres di Aceh, terutama soal pengelolaan APBA dan saat Pilkada 2017, ada tim independen yang menjadi pengawas di Aceh agar tidak ada intimidasi. Selain itu, Din juga meminta agar pemerintah memperhatikan keselamatan dan keamanan keluarganya saat dirinya menjalani proses hukum.

Bagi Sutiyoso, kelompok bersenjata pimpinan Din Minimi ini bukan memberontak untuk memisahkan diri dari Indonesia. Mereka juga tidak merampok. Jadi, perjuangan Din Minimi sebenarnya otokritik terhadap pejabat-pejabat Aceh yang sebelumnya mantan GAM.

Intinya, Din Minimi dan kelompoknya memberontak bukan untuk meminta uang dan pekerjaan, melainkan merupakan “resonansi” kekecewaan beberapa mantan pejuang GAM terhadap rekan-rekan mereka yang pasca MoU Helsinki menjadi pejabat di Aceh, namun dinilai melupakan dan melalaikan mantan GAM yang kurang beruntung kesejahteraannya.

Jalan panjang yang ditempuh Sutiyoso dalam menggalang dan negosiasi dengan Din Minimi sebenarnya selaras dengan pendapat Richard K Betts dan Thomas G Mahnken dalam buku "Paradoxes of Strategic Intelligence" karena jelas sebelumnya Sutiyoso dan para anak buahnya di BIN telah mengumpulkan informasi terkait Din Minimi dan menganalisisnya secara tepat.

Hal itu tidak mudah dilaksanakan karena menurut Richard K Betts dan Thomas G Mahnken dalam buku "Paradoxes of Strategic Intelligence" bahwa informasi-informasi yang dikumpulkan oleh lembaga intelijen selalu terkait dengan niat dan kemampuan baik kemampuan material maupun non material. Kemampuan material seperti senjata yang dimiliki, keahlian khusus musuh dan jumlahnya yang sejauh ini sangat sulit untuk disembunyikan, sedangkan kemampuan non material seperti kualitas organisasi, moral dan doktrin yang mana sangat sulit untuk dievaluasi secara tepat. Sementara itu, niat seringkali berubah di menit-menit terakhir dan untuk mengetahuinya bukan pekerjaan mudah bagi intelijen. Biasanya untuk mengetahui niat dapat diketahui dari memoir-memoar, pidato-pidato, brifing dan debriefing dan lain-lain. Mengetahui kemampuan musuh sangat penting bagi intelijen karena ada prinsip "a country with weaker capabilities may nevertheless decide to go a war".

Perdamaian Indonesia

Kita sebagai bangsa Indonesia tentulah harus bersyukur dengan keberhasilan Kepala BIN Sutiyoso dalam mengajak kelompok sempalan GAM yang dipimpin Din Minimi, karena bagaimanapun juga keberhasilan ini juga membuktikan bahwa setiap permasalahan kebangsaan apapun jenisnya dapat diselesaikan secara aman dan damai, sepanjang nilai-nilai kemanusiaan, saling menghormati dan semangat mengedepankan soft approch lebih mendominasi dari semangat hard approach. Keberhasilan ini juga menambah catatan-catatan keberhasilan jajaran pemerintahan Jokowi-JK.

Kalau ada pihak-pihak yang menyatakan keberhasilan ini merupakan pencitraan dan lain-lain adalah hal yang wajar, namun sejatinya masyarakat Indonesia mempunyai penilaian dan penghargaan tersendiri kepada aparat negara ataupun siapa saja yang lebih mengedepankan bekerja daripada mengkritik dan menghujat hasil pekerjaan orang, tanpa menyadari dirinya mampu atau tidak melaksanakan pekerjaan tersebut.

Penulis menyakini bahwa BIN dibawah kepemimpinan Sutiyoso diperkirakan akan lebih baik dibandingkan kepemimpinan sebelumnya, sehingga cara-cara human approach, soft approach ataupun dialogue approach akan dikedepankan BIN dalam melaksanakan tugas kenegaraan mengamankan kebijakan negara dan memberikan masukan terhadap Presiden sebagai end user terkait ancaman, kendala, hambatan, peluang dll terhadap pelaksanaan kebijakan negara.

Mungkin masyarakat kurang menyadari bahwa keberhasilan pemerintah ataupun terjaganya situasi keamanan Indonesia juga disebabkan oleh kinerja BIN dan aparat keamanan serta aparat penegak hukum lainnya yang semakin membaik. Oleh karena itu, jika ada “tantangan” apakah BIN dapat menyelesaikan persoalan OPM di Papua dan kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah dapat berhasil atau tidak dengan cara-cara soft approach, kemungkinan besar bisa karena sejatinya manusia dalam hidupnya ingin kedamaian, kemakmuran dan keselamatan serta kurang menyukai kekerasan, arogansi dan intimidasi.

Pelajaran lainnya dari kelompok Din Minimi adalah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak lalai melaksanakan tugas utamanya yaitu mengemban amanah menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya, agar mereka tidak direpotkan dengan munculnya Din Minimi-Din Minimi lainnya di beberapa daerah, jika aparat negara melalaikan tugas pokok dan fungsinya. “Ayo bekerja, kerja dan kerja” dan terus jaga perdamaian Indonesia.

*) Penulis adalah peneliti di Galesong Institute dan Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) Jakarta.