Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Anggota DPR Harusnya Ributkan Masalah Freeport, bukan Kasus Novanto
Oleh : Surya
Selasa | 01-12-2015 | 18:56 WIB
Indra Perwira.jpg Honda-Batam
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung Indra Perwira

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Indra Perwira menilai anggota DPR sekarang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, dibandingkan mengedepankan kepentingan bangsa.

Hal itu terlihat dari anggota DPR yang lebih disibukkan membicarakan rekaman pembicaraan Ketua DPR Setyo Novanto dan pengusaha minyak Reza Chalid dengan Dirut PT Freeport Indonesia Maroef Samsoeddin terkait permintaan saham dibandingkan soalkan perpanjangan kontrak Freeport.

"Soal Freeport dengan soal rekaman Novanto itu dua hal yang berbeda. Sayangnya anggota DPR lebih  menyoal masalah rekaman pencatutan nama presiden dan wapres, ketimbang masalah Freeport yang jauh lebih besar. Ini menandakan bahwa para politisi kita saat ini tidak pernah berpikir jauh kedepan," kata Indra kepada pers di Jakarta, Selasa (1/12/2015).

Menurut Indra, harusnya anggota DPR bisa lebih keras kepada Freport, bukan sebaliknya masuk dalam permainan Freport soal dugaan permintaan saham untuk Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto.

"Para politisi ini hanya memikirkan keuntungan diri sendiri. Anggota DPR sekarang tidak ada yang berpikir jauh untuk kemaslahatan bangsa dan hanya konsen terkait apa yang  mereka bisa dapatkan saja," katanya.

Namun, kendati begitu bukan berarti membenarkan tindakan Setya Novanto dalam kasus ini. Tindakan Setya Novanto, lanjutnya, harus dikenai sanksi etika dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan tindakan tegas dari partainya.

"Terlepas dari itu seharusnya konteks pertama yang harus dilawan oleh politisi adalah masalah Freeport, kalau perlu  ada yang bersuara usir Freeport.  Karena banyak yang obventurir (makelar atau petualang) jadinya seperti sekarang," katanya.

Oleh karena itu ramainya pembicaraan masalah Freeport ini menurutnya harus dijadikan momentum bagi pemerintah dan DPR untuk mengagendakan penyelesaian kasus ini dengan berbagai negosiasi yang hasilnya tidak lagi merugikan bangsa ini.

"Banyak pelanggaran konstitusi dalam masalah Freeport.Ini masalah kedaulatan negara dan ini harus segera diselesaikan," ujarnya.

Jika pemerintah dan DPR tidak juga mau menyelesaikan masalah Freeport ini dan hanyan memikirkan diri sendiri, ini akan semakin mempercepat revolusi.

"Kalau lihat kondisi sekarang terus terang tidak ada harapan. Makanya situasi yang seperti ini saya senang melihat pemerintah dan DPR semakin arogan, karena akan mempercepat people power sebagai satu-satunya jalan menembus kebuntuan," katanya.

Dia pun mengingatkan bahwa masalah Freeport dan permintaan saham ini bermula dari regulasi ngawur yang dibuat pemerintah sendiri melalui peraturan pemerintah yang mewajibkan perusahaan asing yang bergerak sektor minerba untuk melakukan divestasi saham sebesar 25 persen.

"Ini kan kemudian yang munculkan permintaan saham. Harusnya kan Indonesia tidak perlu punya saham Freeport karena sumber daya alam itu milik Indonesia dan Freeport bisa berusaha di Papua karena izin kita. Jadi tanpa harus memegang saham kita harusnya bisa menentukan sendiri berapa yang harus kita dapatkan dari usaha mereka yang sangat menguntungkan tersebut. Saya yakin kita bisa minta minimal pembagian 50:50. Kalau Freeport tidak mau, berikan saja pada perusahaan lain," katanya.

Editor: Surya