Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Inkonsistensi Penegakan HAM di Pengadilan Internasional
Oleh : Opini
Rabu | 25-11-2015 | 10:26 WIB

Oleh: Sandy Arifin*

SUDAH setengah abad kejadian yang mencederai eskalasi politik dan keamanan Indonesia berlalu, namun sisa kenangan aksi pemberontakan yang membuat kisruh stabilitas kemanan Indonesia 50 tahun silam tidak bisa terhapus dari ingatan. Meski dua regenerasi telah terlewati, namun kisah pemberontakan yang mencoreng eksistensi Indonesia di mata dunia hingga saat ini masih sering menjadi perdebatan.

Polemik ini tidak seharusnya terjadi mengingat seluruh rakyat Indonesia menjadi korban dan telah tercederai oleh kebengisan kelompok PKI. Melakukan aksi pemberontakan dengan menculik dan membunuh pucuk pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, bahkan dalam keadaan perang pun hal itu tidak semestinya terjadi.

Dapat dikatakan aksi kelompok PKI tersebut merupakan kejahatan sangat luar biasa yang tidak bisa lagi dikelompokkan dalam kategori extraordinary crime, aksi tersebut jika dapat diistilahkan lebih pantas disebut extremely crime. Alasanya adalah aksi tersebut terjadi bukan dalam situasi perang, dan tidak bisa dikatakan kejahatan perang, sehingga kejahatan tersebut berada diatas tingkatan extraordinary crime. Berkaca dari kejadian tersebut, pemerintah Indonesia hingga saat ini sangat mewaspadai munculnya kelompok-kelompok serupa yang dapat menggores kenangan buruk dalam sejarah Indonesia.

Masyarakat diharapkan lebih dewasa dalam berfikir mengenai kejadian tersebut, yang menjadi permasalahan bukanlah tentang win and lose, melainkan tentang bagaimana menjaga kesatuan, persatuan, dan keutuhan Indonesia dari ancaman kelompok serupa. Seluruh keluarga dan keturunan tersangka kelompok PKI memang tidak boleh mendapat perlakuanan berbeda dimata masyarakat, mereka harus mendapat bantuan, dorongan, dan tempat ditengah masayrakat untuk menekan segala upaya mendelegetimasi Pancasila yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun demikian, maraknya pemberitaan tentang pengajuan permasalahan kembali ke pengadilan Internasional HAM Deen Haag, Belanda akhir-akhir ini sangat meresahkan seluruh masayrakat. Kejadian tersebut merupakan indikasi awal dari kebangkitan komunis gaya baru, dimana terdapat banyak upaya pemutarbalikan fakta yang dilaporkan ke pengadilan HAM Internasional.

Pengaduan tersebut sebenarnya dapat menjadi bomerang bagi negara-negara super power yang menanggapinya, terutama Belanda. Jika, pengaduan PKI diterima dan akhirnya dibenarkan oleh pengadilan HAM Internasional, maka negara Jepang yang kalah dalam perang dunia kedua juga memiliki hak untuk mengajukan gugatan dan pengaduan atas kejahatan genosida yang dilakukan oleh kelompok sekutu (termasuk negara Belanda sendiri) saat peluncuruan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menelan korban tidak bersalah sekitar 250 ribu orang.

Selain itu, Belanda yang menjadi algojo dan mengatasnamakan HAM dalam pengadilan tersebut, seolah melupakan tentang kejahatan yang pernah dilakukan sebelumnya. Masyarakat Indonesia harus menolak lupa, akan penjajahan Belanda atas Indonesia selama tiga setengah abad yang telah menewaskan jutaan nyawa rakyat Indonesia. Lantas dimanakah letak peradilan HAM yang berupaya diusung oleh Belanda?

Sama halnya seperti yang terjadi pada pihak yang kalah dalam perang dunia kedua, penumpasan G30SPKI tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan, apalagi dikatakan Genosida, karena sejatinya bangsa Indonesia lah yang menjadi korban kebengisan kelompok PKI, dan PKI tidak berhak untuk mendapatkan pembelaan apapun. Satu-satunya solusi terbaik adalah dengan melakukan rekonsiliasi, namun rekonsiliasi yang dimaksudkan adalah dengan duduk bersama melakukan pembahasan dan langkah kedepan, bukan untuk memutarbalikkan fakta sebenarnya.

*) Penulis adalah pemerhati sosial.