Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Publik Diminta Tak Tuduh DPR Lemahkan KPK, karena Draf RUU KUHP Berasal dari Pemerintah
Oleh : Surya
Rabu | 16-09-2015 | 10:56 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota komisi hukum DPR RI, Arsul Sani meminta publik tidak tergesa-gesa menilai adanya upaya dari DPR untuk melemahkan lembaga KPK.


RUU KUHP merupakan inisiatif pemerintah dan pemerintah yang membuat dratfnya. Jika diperlukan, akan ada pasal-pasal pengamanan baik di peralihan dan di pasal lainnya, untuk memperkuat KPK.

"Jangan su’udzon (buruk sangka-red) dulu sama DPR, lho! RUU KUHP inikan inisiatif pemerintah, jadi pemerintah yang membuat draftnya. Sebaiknya, publik tidak terlalu buru-buru menuding DPR  berniat melemahkan KPK," ujar Arsul Sani dalam diskusi "Revisi UU KUHP" di Jakarta, Selasa (15/9/2015).

Politisi dari Fraksi PPP itu mengatakan, usulan RUU KUHP dari pemerintah semangatnya lebih kepada kodifikasi tertutup, yang artinya merangkum seluruh aturan hukum pidana ke dalam KUHAP. Dalam hal ini pidana khusus seperti tipikor, terotrisme, pencucian uang, narkoba, masuk ke dalam KUHP. Arsul sendiri melihat, semangat kodifikasi tertutup (total codification) akan membuat pembahasan lebih berkepanjangan.

"Selain itu, kalau pidana khusus yang berkembang cepat itu dimasukkan ke dalam KUHP akan membuat KUHP harus sering direvisi, dan ini sepertinya tidak mungkin. Sekarang saja rencana merevisi masih terus tertunda," katanya.

Fraksinya, PPP, mengusulkan agar pembahasan RUU KUHP ini dikembalikan kepada kondisi yang ada sekarang ini, yakni kodifikasi terbuka (parcial codification). Dalam hal ini tetap dipisahkan,  KUHP yang tetap memuat aturan-aturan hukum pidana umum, sedangkan pidana khusus tetap dipisahkan dalam UU sendiri-sendiri.

"Misalnya, UU KPK, UU Pencucian Uang, UU Narkoba, UU Terorisme, biar seperti sekarang, tidak usah dimasukkan ke dalam KUHP semua," kata Arsul.

Dalam kesempatan sama, pakar hukum pidana Prof Romli Atmasasmita dari Unpad Bandung. Menurutnya perkembangan zaman begitu cepat, maka hukum harus bisa menjangkau kondisi ini. Kalau dimasukkan ke dalam KUHP, maka akan kerepotan kalau ingin merevisi mengingat cepatnya perkembangan zaman.

"KUHP itu hukum dari era lama sejak zaman Belanda. Sedangkan kejahatan cyber, human trafficking, terorisme, narkoba, korupsi, pencucian uang, itu sering dianggap kejahatan dan hukum abad ke-21. Perlu kelenturan untuk mengadopsi hukumnya," ujarnya.

Untuk itu, ia menyarankan, agar Komisi III DPR mengambil langkah pembahasan dengan parcial codification. Ini bisa lebih menghemat waktu, karena tidak udah membahas yang tekait dengan hal-hal pidana khusus tersebut.

"Jadi, keluarkan saja pasal-pasal pidana khusus itu dari RUU KUHP, lakukan saja up-date terhadap KUHP itu, disesuaikan dengan perkembangan Indonesia," katanya.

Romli juga mengingatkan, soal azas universal yang termuat dalam RUU KUHP. Komisi III harus hati-hati, karena kalau azas universal diterapkan oleh hukum Indonesia, itu artinya juga kalau ada kasus kejahatan, negara lain berhap mengadili kalau pelaku kejahatan sedang berada di negara tersebut. Menurutnya, negara yang memberlakukan azas universal adalah Belgia.

Mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua menyatakan gembira dengan pernyataan Prof Romli. Sebab, dengan begitu keberadaan UU KPK akan tetap berdiri sendiri. Kalau memang ada perbaikan, itu untuk hal-hal yang memperkuat KPK, dan bukannya memperlemah.

"Saya yakin, Prof Romli mendukung kodifikasi terbuka dengan tetap mendukung UU KPK berdiri sendiri. Sebab, UU KPK kan hasil karya beliau ini. Namun, saya sendiri berpandangan, memang ada pasal-pasal di UU KPK yang perlu direvisi untuk memberikan penguatan," katanya.

Meski demikian, Arsul tak mengelak, pembahasan RUU KUHP dicurigai oleh sebagian kalangan, karena diduga  akan melemahkan lembaga anti rasuah. Ditambah lagi RUU KUHP ini sudah diusulkan ke DPR beberapa waktu lalu. Namun, tetap saja tak bisa diselesaikan.

"Sudah terlalu lama dibahas, bahkan yang membahas malah sudah menjadi nama jalan," tegasnya

Editor: Surya