Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Pasal Penghinaan Terhadap Presiden
Oleh : Opini
Kamis | 13-08-2015 | 09:45 WIB

Oleh: Herni Susanti*

MUNGKIN tak pernah terbayang dalam pikiran Dudi Hermawan, seorang netizen dari Batam, bahwa laman akun facebook-nya akan menjadi pemberitaan media massa. 

Peristiwa tersebut bermula saat Dudi menuliskan rasa kecewanya terhadap kinerja Presiden Jokowi dengan nada yang mengancam. “Presiden macam manalah kau ini…!! Kerja..Kerjaa..Kerjaaa…Kerjaanmu cuman nonton bioskop ma konser doank ternyata..!! Kalo kau bukan muslim, ku tebas lah kepala kau nich !!..,” tulis Dudi Dalam akun Faceboknya. Selain tulisan, Dudi juga menegaskan ancamannya kepada RI 1 dengan mengunggah foto Presiden Jokowi yang sedang duduk di bioskop. Hanya dalam hitungan detik, tulisan Dudi menyebar melalui screenshot hingga menggemparkan dunia maya.

Kasus serupa juga pernah terjadi pada masa Pilpres 2014, yang akhirnya menyeret Muhammad Arsyad ke balik jeruji besi Mabes Polri karena dianggap menghina Jokowi dengan unsur SARA melalui-nya. Lantas, sampai kapan kejadian ini kembali terulang? Bagaimana menyeimbangkan kebebasan berpendapat namun tetap berada dalam koridor kesantunan dan kepatutan? Perlukah kita larut dalam debat kusir tentang boleh dan tidaknya seseorang “menyentil” seorang Presiden seperti kasus-kasus di atas?

Kebebasan Berpendapat vs Kritik Tajam
Indonesia memiliki cerita pilu terkait kebebasan berpendapat khususnya kepada Pemerintah. Pada masa orde baru, masyarakat hingga media dihantui oleh ancaman jeruji besi jika terlalu berani mengkritik kebijakan penguasa. Akibatnya, banyak penangkapan warga sipil dan penutupan media massa karena dianggap terlalu vokal dalam menentang pemerintah. Namun, kondisi tersebut berbalik saat orde Baru tumbang, dimana kebebasan mulai mendapatkan ruang di era reformasi. Dari yang awam hingga pengamat profesional ramai-ramai bersuara tentang segala hal,  masalah ekonomi, sosial, dan semua hal yang berkaitan dengan kinerja pemerintah. Tak jarang pendapat tersebut sering kebablasan hingga menambah pengap ruang publik di Indonesia.

Kebebasan berpendapat masyarakat di era reformasi saat ini justru menjadi polemik. Di satu sisi, kebebasan berpendapat adalah hak asasi individu/kelompok sebagai warga negara dijamin dalam konstitusi melalui Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Namun disisi lain, pasal tersebut sering diartikan dengan kebebasan yang tanpa batas hingga mengolok-olok orang lain bahkan Presiden pun menjadi alasan kebebasan berpendapat. Oleh sebab itu, perlu kiranya kedewasaan sikap dalam menyampaikan pendapat agar kritikan  tersebut dapat menambal celah kekurangan dari kebijakan pemerintah.

Pasal Penghinaan Presiden, Perlukah?
Berkaca dari kasus yang menimpa Dudi Hermawan dan Muhamad Arsyad, Pemerintah sepertinya belajar untuk mengakomodasi permasalahan tersebut dengan memasukan pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Wacana menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden ini pun cukup menggegerkan masyarakat belakangan ini.

Pada satu sisi, pemerintah beralasan bahwa pasal penghinaan presiden dimaksudkan untuk menghindari masyarakat terjebak pasal karet, yakni pasal yang tidak tegas dalam mengatur materi penghinaan. Namun di sisi lain, beberapa kalangan menilai bahwa pasal tersebut merupakan upaya pemerintah untuk membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Bahkan, ada kekhawatiran pasal tersebut akan membawa Indonesia kembali ke zaman Orde Baru.

Jika menengok kebelakang, pasal penghinaan Presiden memang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak 2006 melalui surat Nomor 013-022/PUU-IV/2006. MK beralasan bahwa pasal tersebut rentan disalahartikan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Upaya pemerintah yang tetap ngotot untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden inilah yang dinilai beberapa kalangan sebagai langkah menciderai putusan pengadilan yang sudah berkuatan hukum tetap.

Pemerintah pun mengklaim bahwa pasal yang saat ini sudah masuk ke DPR berbeda dengan pasal yang dicabut sebelumnya. Dalam pasal RUU KUHP Pasal 263 Ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.” Dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa perbuatan di atas dikecualikan apabila perbuatan itu merupakan penghinaan jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Aturan tersebut diperluas pada Pasal 264 bahwa “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”

Pasal penghinaan presiden sebenarnya wajar saja untuk kembali diberlakukan dengan mempertimbangkan marak dan berulangnya kasus penghinaan kepada Presiden. Seperti diketahui sebelumnya, kasus penghinaan terhadap presiden selama ini selalu berakhir dengan pemberian maaf dari presiden. Pemberian maaf ini justru membuat sebagian masyarakat makin permisif dan berani untuk terus menghina presiden. Oleh sebab itu, pasal ini sebenarnya bertujuan untuk menjembatani jurang antara masyarakat yang kritis terhadap pemerintahan dan gaya berkomunikasi yang tetap mengedepankan kesopanan.

Kekhawatiran penyelewengan pasal penghinaan seperti yang terjadi pada orde baru sejatinya sangat tidak beralasan mengingat saat ini masyarakat sudah kritis dan hidup dalam era keterbukaan. Selain itu, media sosial saat ini telah mengambil peran sentral dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga mampu mengawal setiap permasalahan yang terjadi dengan cepat. Ketakutan penyelewengan pasal ini hanya ada pada diri orang-orang yang telah mengetahui bahwa dirinya salah, yaitu orang yang sudah terbiasa memelintir fakta hukum demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Jika kritik sudah dapat disampaikan sesuai etika yang berlaku, maka tidak perlu khawatir  akan terkena pasal penghinaan presiden.

Dalam hal ini, MK dan DPR perlu mengkaji lagi dengan seksama pasal penghinaan presiden, mengingat pasal ini tidak hanya melindungi Jokowi sebagai kepala negara saat ini, namun juga kepala-kepala negara sesudahnya. Dengan memberlakukan pasal ini, berarti masyarakat Indonesia diajak untuk saling menghormati lembaga kepresidenan yang sejatinya dipilih dan berasal dari rakyat. Karena, jika bukan masyarakat Indonesia yang menghormati presidennya, lantas siapa lagi? 

*) Penulis adalah pemerhati masalah kebangsaan