Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Berharap Pengelolaan Perbatasan Jangan Berdasarkan Pandangan Jakarta
Oleh : Surya Irawan
Senin | 24-11-2014 | 18:40 WIB
perbatasan_ina-mal.jpg Honda-Batam
Perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kalimantan Barat.

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua FPKB MPR RI, M. Lukman Edy, mengingatkan pemerintah jika dalam menangani daerah perbatasan tidak bisa dengan cara pandang Jakarta.

Seperti penutupan perdagangan yang selama ini berlangsung baik antara masyarakat Indonesia dengan Malaysia, akibatnya pergerakan ekonomi mengalami kemacetan, kesulitan, kemiskinan dan sebagainya. Sebab, kalau harus datang ke Tanah Abang, Jakarta, maupun Jawa sangat jauh bagi masyarakat perbatasan seperti di Kepulauan Riau.
 
"Jadi, dalam menangani daerah perbatasan itu yang dibutuhkan adalah pembangunan infrastruktur, sekolah-sekolah yang memadai dan bukan setingkat Inpres, dan membangun pusat perbelanjaan dan industri meski tradisional, kaena semua itu yang akan mendukung terwujudnya kesejahteraan," tegas anggota DPR RI FPKB asal daerah pemilihan Riau ini dalam dialog kenegaraan 'Nasionalisme Masyarakat Perbatasan' bersama pengamat hukum internasional UI Hikmahanto Juwana, dan pengamat politik UI Agus Setiawan di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (24/11/2014).
 
Khusus di perbatasan Malaysia kata Lukman Edy, banyak juga patok perbatasan yang digeser oleh warga Indonesia sendiri, karena mereka dapat jatah lahan untuk program perkebunan. "Hasil perkebunan warga perbatasan itu sendiri sejak dulu sudah dijual ke toke (tengkulak) Malaysia, sampai ada WNI yang mengikuti Laskar Wathoniyah dan sebagainya, yang semuanya terkait dengan kesejahteraan," ujarnya.
 
Sementara, menurut Hikmahanto perbatasan dalam hukum internasional itu meliputi darat, laut, dan udara. "Semua negara memang sahabat, tapi jangan sampai menginjak-injak kedaulatan negara. Kalau negara lain merendahkan kedaulatan kita, maka harus dilawan. Termasuk adanya manusia perahu yang jumlahnya sampai 500 orang di sekitar pulau Belawan, ini pasti ada yang mengorganisir dan medapat keuntungan dari mereka itu. Pemerintah harus menyikapi ini dengan tegas dan mengusirnya dari Indonesia," kata Hikmahanto.
 
Karena itu dia meminta memperhatikan pulau-pulau dan laut di perbatasan khususnya yang tidak berpenghuni. Sebab, pada awalnya pulau-pulau itu memang tidak berpenghuni, namun lama-lamaan ada yang membangun resort, mercusuar dan lain-lain. "Meski milik Indonesia, tapi akibat tidak dirawat, ketika diajukan ke PBB sebagaimana terjadi dengan Malaysia, maka kita dikalahkan. Jadi, pemerintah harus menempatkan TNI secara bergiliran, agar pulau-pulau itu tidak diklaim negara lain," tambah Hikmahanto.
 
Selain itu dalam menyelesaikan masalah perbatasan menurut Hikmahanto, jangan sekali-kali menggunakan 'referendum' kalau terbukti belum mampu menyejahterakan rakyat, sehingga status suatu daerah tersebut harus terus 'diambangkan' bahkan sampai 100 tahun ke depan. "Masalah daerah perbatasan itu tak bisa diserahkan ke pemerintah daerah, melainkan harus tetap ditangani oleh pemerintah pusat," pungkasnya.
 
Sementara itu, Agus Setiawan menceritakan kejayaan Kerajaan Sriwijaya di masa lalu, selain berjaya, tentara yang direkrut untuk menjaga kelautan sebagai TNI adalah para nelayan, yang memang ahli dan profesional hidup di lautan. Karena itu, dalam merumuskan pembangunan 'maritim' itu harus mengindentifikasi masalah di laut. "Untuk menjaga laut, harus banyak melibatkan nelayan dan ahli kelautan lainnya, agar lautan negeri ini terjaga dengan baik," ujarnya.

Editor: Dodo