Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sepertiga Pekerja Industri Elektronik di Malaysia Jadi 'Korban Perbudakan'
Oleh : Redaksi
Sabtu | 20-09-2014 | 14:42 WIB
pekerja di penang malaysia.jpg Honda-Batam
Pekerja di sebuah pabrik elektronik di Penang, Malaysia. (Foto: Reuters)

BATAMTODAY.COM, Kuala Lumpur - Hampir sepertiga dari sekitar 350.000 pekerja industri elektronik di Malaysia -yang merupakan rantai penting pemasok dunia- menjadi korban perbudakan modern berupa jeratan utang. Demikian kesimpulan sebuah penelitian.

Penelitian yang dilakukan Verite, sebuah organisasi buruh internasional, menemukan bahwa penyalahgunaan hak-hak pekerja -khususnya puluhan ribu buruh dari negara-negara yang dibayar dengan upah rendah seperti Nepal, Myanmar dan Indonesia- merebak di sektor senilai 75 miliar US dollar yang menjadi andalan ekonomi Malaysia.

Sejumlah perusahaan AS, Eropa, Jepang dan Korea Selatan beroperasi di Malaysia. Termasuk Samsung Electronics Co Ltd, Sony Corp, Advanced Micro Devices, Intel, dan Bosch Ltd. Sejumlah merek besar juga menggunakan jasa pemasok seperti Flextronics, Venture Corporation, Jabil Circuit, dan JCY International untuk membuat komponen smartphone, computer dan printer.

Pendanaan dari pemerintah AS menambah kredibilitas laporan yang kelihatannya akan mengejutkan bagi banyak konsumen.

Malaysia adalah negara berpendapatan mendengah di mana standar upah dilihat sebagai lebih baik dibanding sejumlah negara tetangga Asia lainnya seperti Cina, di mana praktik-praktik ketenagakerjaan dipertanyakan dan menjadi sasaran pengawasan beberapa tahun terakhir.

Verite tidak menyebut satu pun nama perusahaan dalam laporan, yang dikeluarkan hari Rabu, namun menyalahkan sistem di mana kebijakan pemerintah dan industri telah meningkatkan wewenang perusahaan perekrut buruh Malaysia dalam mengontrol upah serta syarat-syarat ketenagakerjaan lainnya.

"Hasil (penelitian) ini menunjukkan bahwa kerja paksa dalam industri elektronik Malaysia lebih dari sekadar hanya insiden terpisah, dan memang bisa dikategorikan secara luas," kata kelompok tersebut.

Sejumlah perusahaan AS yang beroperasi di Malaysia mengatakan bahwa mereka tidak bisa memberikan komentar sampai mereka melihat secara utuh laporan tersebut. Juru bicara perusahaan Intel mengatakan, hampir semua dari 8.200 pembuat chip mereka adalah warga Malaysia dan mereka tidak menggunakan kontraktor (perusahaan perekrut tenaga kerja).

Flextronics mengaku sadar akan isu terkait buruh asing dan mereka menerapkan kebijakan ketat untuk mencegah pelanggaran. Pejabat Malaysia tidak bisa segera memberikan komentar ketika diminta memberikan pernyataan atas temuan ini.

Studi ini muncul tiga bulan setelah status Malaysia diturunkan ke Tier 3 dalam laporan Perdagangan Tahunan Departemen Luar Negeri mengenai perdagangan manusia, yang dalam laporannya menyebut soal lemahnya kemajuan dalam perlindungan hak-hak sekitar empat juta pekerja asing.

Laporan yang didasarkan atas wawancara atas 501 buruh, menemukan bahwa 28 persen pekerja berada dalam situasi "kerja paksa", di mana mereka bekerja secara terpaksa karena sejumlah faktor termasuk karena mempunyai utang akibat membayar iuran terlalu mahal bagi perusahaan perekrut tenaga kerja.

Angka itu naik menjadi 32 persen bagi para buruh asing di sering disesatkan terkait gaji serta syarat ketenagakerjaan lainnya ketika mereka direkrut di negara asal, dan biasanya dikenakan biaya berlebihan yang membuat mereka terpaksa berutang.

Verite mengatakan angka-angka itu didasarkan pada perhitungan konservatif. Mereka menemukan bahwa 73 persen buruh kelihatannya mempunyai "sejumlah karakteristik" kerja paksa. (*)

Sumber: Deutsche Welle