Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jeritan Hati Jendaita Pinem Mencari Keadilan Hukum (Bagian I)
Oleh : Charles Sitompul
Sabtu | 28-06-2014 | 13:50 WIB
Jendaita-Pinem1.jpg Honda-Batam
Jendaita Pinem mengenakan pakaian yang bertuliskan kalimat-kalimat protes. (Foto: Dok.BATAMTODAY.COM)

BAGI JENDAITA PINEM, dan banyak rakyat kecil dan lemah lainnya, keadilan dan kepastian hukum di Indonesia masih menjadi hal yang mustahi untuk direngkuh. Jendaita Pinem mengaku masih menyadari dan sekaligus jadi korban ketidakadilan hukum itu sendiri.

Dia juga tahu ada ratusan peraturan dan undang-undang yang mengatur bagaimana hukum itu harus dijalankan dan implementasikan di tengah-masyarakat Indonesia. Namun, kepastian dan keadilan hukum masih saja menjadi milik mereka-mereka yang kuat.

"Hukum di negara yang kita cintai ini masih tajam ke bawah. Bagi si lemah, kepastian dan keadilan hukum masih sebagai harapan yang tinggal harapan, bak panggang yang kian menjauh dari api," begitu Jendaita Pinem saat menyerahkan testimoninya kepada BATAMTODAY.COM, Sabtu, 28 Juni 2014.

Jendaita Pinem --yang tak lelah mencari keadilan, pun menilai dirinya merupakan korban konspirasi antara penegak hukum dan pengusaha 'hitam' di Tanjungpinang. Potret buram penegakan hukum di Indonesia, katanya, tersirat dalam putusan kontroversial Pengadilan Negeri Tanjungpinang yang menghukumnya 3 tahun dan 6 bulan penjara atas laporan pencurian dan penyerobotan lahan yang dibelokkan menjadi laporan pertambangan illegal atau illgeal mining, yang tak pernah dia lakukan.

Memang, Pengadilan Tinggi Riau di Pekanbaru menjatuhkan vonis bebas murni terhadap Jendaita Pinem. Namun, atas kasasi JPU yang dinilainya tak berdasar, Mahkamah Agung RI menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang sebelumnya menghukum 3 tahun dan 6 bulan.

Selain mengupayakan peninjauan kembali atas putusan kasasi MA yang menghukumnya, Jendaita Pinem mengirimkan testimoninya ke Redaksi BATAMTODAY.COM.

Berikut Testimoni Jendaita Pinem atas putusan perkara pidana nomor: 82/PID.B/2010/PN.TPI dan perkara perdata nomor: 04/PDT.G/2010/PN.TPI di PN Tanjungpinang

"Equality Before The Law yang bermaksud bahwa persamaan di depan hukum mengikat kepada setiap orang. Konsep ini adalah merupakan pilar utama Pemerintah RI dalam menggagaskan prinsip reformasi penegakan hukum yang telah mendeklrasikan bahwa NKRI adalah negara hukum berlandaskan demokrasi dan Pancasila," begitu Jendaita Pinem memulai testimoninya.

Prinsip ini juga memberikan landasan kepada penegakan hukum yang sederhana, cepat dan biaya ringan serta tidak bisa dikriminatif, pandang bulu ataupun selektif.

Oleh karena itu, di dalam negara hukum memang setiap orang berhak untuk melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana kepada polisi. Tetapi, bukan berarti undang-undang memberi hak kepada setiap orang membuat laporan palsu tanpa dapat membuktikan dasar laporannya dan tuduhannya.

Sehingga dengan demikian setiap pelapor yang membuat laporan palsu, tidak bisa mencuci tangan dengan begitu saja, bahkan wajib hukumnya bertanggang jawab terhadap laporan palsu yang dia laporkan bukan melemparkan kesalahan dan tanggung jawap kepada instansi terkait, sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 dan pasal 266 KUHP.

Sebab, terjadinya proses penyidikan, penuntutan dan peradilan sehingga menimbulkan kerugian bagi terdakwa adalah akibat dari laporan palsu yang dilaporkan oleh pelapor.

Hal di atas terjadi pada putusan perkara perdata nomor: 04/PDT.G/2010/PN.TPI, dan putusan perkara pidana nomor: 82/PID.B/2010/PN.TPI. Kedua putusan tersebut diputuskan oleh majelis hakim didasarkan pada fotocopy SHGB No. 00871 tetapi sampai saat ini, baik Suban Hatono, penyidik maupun penuntut umum serta majelis hakim tidak dapat membuktikan/menunjukkan SHGB No. 00871 secara otentik sesuai aslinya.

Padahal fotocopy SHGB No. 00871 tersebut  juga didasarkan pada laporan polisi no. Pol: LP/B.81/IV/2009, tanggal 21 April 2009 tentang dugaan tindak pidana pencurian dan penyerobotan tanah yang kemudian dikembangkan oleh penyidik menjadi tindak pidana penambangan tanpa izin dengan cara membuat laporan polisi No.Pol: LP/34/VII/2009, Reskrim tanggal 18 Juli 2009 tentang penambangan tanpa izin (illegal mining).

Yang lebih tidak masuk akal, apabila Suban Hartono tiba-tiba melaporkan SHGB No. 00871 telah hilang walaupun dalam persidangan Suban Hartono telah membuat pengakuan di bawah sumpah bahwa SHGB No. 00871 ada dalam simpanannya dan akan dibuktikan/ditunjukkan kemudian, dan dalam bukti perkara perdata nomor: 04/PDT.G/2010/PN.TPI hakim telah mencatatkan bahwa SKPT asli BPN, sertifikat fotcopy, aslinya di bank. Dan tidak hanya sekadar itu, laporan polisi nomor Pol: LP/81/IV/2009, tanggal 21 April 2009 turut dicabut oleh Suban Hartono dari Polresta Tanjung Pinang.

Pertanyaannya, apakah dengan cara ini undang-undang bisa membenarkan Suban Hartono/PT Kemayan Bintan cuci tangan dengan begitu saja terhadap kerugian yang timbul akibat dari laporan polisi yang dia buat berdasarkan fotocopy SHGB No. 00871 yang netaben fiktif, dan kemudian melemparkan kesalahan dan tanggung jawabnya kepada instansi terkait???

Sementara saya, Jendaita Pinem, bukan seorang pengurus ataupun persero dalam perusahaan CV Tri Karya Abadi, melainkan hanya seorang karyawan dan bekerja baru 48 hari dan belum menerima gaji dari CV Tri Karya Abadi dan saya belum pernah melakukan penambangan sebagaimana yang didakwakan.

Pertanyaannya kemudian, atas dasar undang-undang yang mana satu majelis hakim PN Tanjungpinang bisa menyatakan saya telah terbukti bersalah melakukan penambangan tanpa ijin, sementara perusahaan CV Tri Karya Abadi telah memiliki Izin Usaha Pertambangan pada saad saya ditunjuk sebagai karyawan.

Untuk menghindari prasangka buruk terhadap majelis hakim, yang memutus perkara secara berpihak dan tidak diatur berdasarkan undang-undang dalam menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada saya selama 3 tahun 6 bulan atas kesalahan yang tidak pernah saya lakukan, maka wajib hukumnya Suban Hartono/PT Kemayan Bintan diminta pertanggungjawaban terhadap kerugian terdakwa yang timbul akibat laporan polisi, yang kemudian tidak dapat membuktikan tuduhannya berdasarkan fotocopy SHGB No. 00871 yang notabene adalah fiktif. (Jendaita Pinem)

Editor: Redaksi