Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Malaysia Desak Pembentukan Kode Etik Teritorial di Laut Cina Selatan
Oleh : Redaksi
Kamis | 05-06-2014 | 08:44 WIB

BATAMTODAY.COM, Kuala Lumpur - Malaysia mendesak pembentukan kode etik teritorial di Laut Cina Selatan. Di perairan sengketa itu, ketegangan semakin memuncak antara Cina dan negara-negara tetangganya.

Desakan dari negeri jiran itu muncul dalam konferensi keamanan regional di Singapura akhir pekan lalu. Di ajang itu, perang kata-kata berlangsung di antara petinggi dari Cina dengan pejabat negara-negara Asia dan Amerika Serikat (AS). Seorang jenderal Cina menyatakan, AS berisiko menjadikan Cina menjadi musuh.

Malaysia juga menggelar konferensi keamanan selama tiga hari sejak Senin. Dalam pidato utama dari Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, yang dibacakan Menteri Dalam Negeri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, pemimpin negeri jiran menegaskan bahwa diskusi dan aksi yang dapat berujung menjadi kode etik Laut Cina Selatan merupakan "langkah menuju arah yang tepat".

"Diskusi semacam itu harus dirampungkan dalam waktu dekat," kata Najib dalam pidatonya. Menurut panitia, Najib baru saja pulang dari lawatan ke Cina, bagian dari peringatan 40 tahun hubungan diplomatik kedua negara.

Tahun 2002, Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (Asean) dan Cina menandatangani deklarasi tak mengikat yang menjabarkan niat untuk perumusan kode etik di masa depan. Dalam deklarasi itu, semua pihak berjanji akan "menahan diri dalam melakukan aktivitas yang dapat memperumit atau memperuncing sengketa". Asean dan Cina juga berjanji tidak akan melakukan aksi provokatif seperti pembangunan di pulau-pulau sengketa.

Di depan publik, Asean dan Cina berulang kali menegaskan perlunya kode etik untuk memandu perilaku di Laut Cina Selatan. Namun, tak semua negara anggota Asean terlibat langsung dalam sengketa wilayah dengan Cina. Situasi ini turut membuat upaya perumusan kesepakatan menjadi rumit.

Beijing mengklaim kedaulatan di nyaris seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Sebagian wilayah laut ini juga diklaim oleh negara anggota Asean: Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei.

Taiwan juga mengajukan klaim. Cina selama ini bersikeras untuk melakukan negosiasi secara terpisah dengan setiap negara yang mengajukan klaim. Sedangkan empat negara Asia Tenggara lebih menyukai perundingan kolektif melalui Asean. Organisasi itu sendiri semakin terbelah, karena banyak negara anggotanya memiliki hubungan dagang penting dengan Cina.

Kemajuan diplomasi di perairan sengketa kini dirasa kian penting, karena Cina semakin giat memanfaatkan kekuatan militer untuk melindungi klaimnya. Setelah situasi penuh ketegangan pada 2012, Beijing secara efektif mengambil kendali sebuah dangkalan yang diklaim Manila.

Beberapa pekan lalu, Cina memindahkan sebuah anjungan minyak lepas pantai ke perairan yang diklaim Vietnam. Kapal dari kedua negara pun terlibat konfrontasi.

"Saya merasa prihatin dan sangat cemas bahwa upaya yang dilakukan pihak-pihak terlibat untuk menegaskan (klaim) mereka, sekecil apapun upayanya, hanya akan memperumit masalah dan dalam jangka panjang tidak akan (berdampak positif) bagi kepentingan siapapun," demikian Najib dalam pidatonya. (*)

Sumber: The Wall Street Journal