Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mangrove Indonesia di Titik Kritis
Oleh : Redaksi
Kamis | 27-03-2014 | 09:05 WIB
Kondisi-Mangrove-di-Cagar-Alam-Tanjung-Panjang-Pohuwato-Gorontalo-kritis.3.jpg Honda-Batam
Kondisi Mangrove di Cagar Alam Tanjung Panjang, Pohuwato, Gorontalo. (foto: mongabay.co.id)

BATAMTODAY.COM, Makassar - Kondisi hutan bakau (mangrove) di Indonesia memprihatinkan, bahkan terancam punah. Mangrove di sebagian besar kawasan pesisir di Indonesia sudah tergerus oleh konversi lahan, salah satunya untuk kepentingan pembukaan tambak yang kian meluas.

Pemerintah dinilai memiliki andil besar mendorong kepunahan mangrove ini melalui berbagai kebijakan yang cenderung mendukung dan mamanjakan para petambak, termasuk memberi ruang bagi perusahaan pupuk dan pestisida. Demikian salah satu benang merah diskusi Mangrove Action Project (MAP) Indonesia Sulawesi Selatan, Makassar, Senin kemarin.

Senior Project Officer MAP Indonesia, Yusran Nurdin Massa, mengatakan, penghancuran kawasan mangrove secara massif dimulai ketika pemerintah pusat mencanangkan program Intensifikasi Tambak (Intam) pada 1984, yang tersebar di 12 provinsi. "Program ini memicu ekstensifikasi tambak udang. Itu berdampak pada penghancuran hutan mangrove besar-besaran jadi tambak," katanya.

Di Sulsel sendiri, kondisi mangrove terus mengalami degradasi cukup besar. Pada 1970-an, masih ada sekitar 214 ribu hektar hutan mangrove dan 2014 diperkirakan tersisa 23 ribu hektar. "Berarti mengalami penurunan sampai 89 persen," papar dia.

Sementara itu, data terbaru dari Strategi Nasional untuk Konservasi Hutan Mangrove di Indonesia tahun 2008 menunjukkan, deforestasi hutan mangrove di Sulsel mencapai 2,2 persen per tahun. Ironisnya, ketika terjadi penurunan produksi tambak akibat berbagai macam penyakit, tambak-tambak ini ditinggalkan begitu saja. Para petambak makin memperluas ekspansi ke daerah-daerah lain yang belum terjamah.

Menurut Yusran, Sulsel menjadi sorotan penting terkait degradasi mangrove karena tambak. Sebab, pembukaan lahan tambak baru di sejumlah provinsi di Indonesia oleh petambak dari Bugis-Makassar, suku utama penduduk Sulsel.

"Ketika tambak mulai tidak produktif dan lahan makin berkurang, para petambak ini ekspansi ke provinsi lain, termasuk Gorontalo, Kalimantan, bahkan sampai ke Sumatera dan Papua," katanya.

Dia mencontohkan, di Tanjungpanjang, Gorontalo, hutan mangrove di kawasan cagar alam ini berkurang drastis, dari 3.000 hektar tersisa 200 hektar. "Saya sudah ke sana dan menemukan para petambak ternyata sebagian besar dari Bugis-Makassar. Ironis. Itu terjadi di cagar alam," terangnya.

Masyarakat Bugis-Makassar memang dikenal sebagai petambak handal. Bahkan, budaya tambak di Indonesia diperkirakan berasal dari Kabupaten Takalar, Sulsel, karena budaya tambak di Takalar sudah dimulai sejak 400 tahun lalu.

Masyarakat pesisir, katanya, mayoritas mudah dimasuki pendatang, apalagi dianggap membawa inovasi baru dalam mengelola lahan pesisir. "Sangat kurang potensi konflik ketika pembukaan lahan tambak dilakukan," ujar dia.

Secara nasional, kondisi mangrove tak kalah buruk. Jika pada 1982 hutan mangrove tercatat seluas 4,2 juta hektar, kini tersisa 3,7 juta hektar lebih. Penyusutan ini antara lain karena konversi lahan menjadi tambak, penggunaan kayu mangrove untuk bahan industri, kayu bakar dan reklamasi pantai yang makin marak.

Program kebangkitan udang oleh pemerintah pada 2013, juga memperbesar potensi kerusakan mangrove. Pemerintah, bahkan mengklaim potensi tambak di Indonesia, cukup besar sampai 2,9 juta hektar, yang termanfaatkan baru 682 ribu hektar.

"Kalau pemerintah menyatakan masih ada potensi dua juta hektar lebih, dari mana kira-kira lahan itu diambil? Kalau bukan dari hutan mangrove, pasti pemukiman warga," katanya.

Menurut dia, Papua, salah satu daerah mangrove cukup baik dengan potensi ancaman kerusakan besar. Sebanyak 60 persen mangrove di Indonesia berada di Papua. "Upaya-upaya pembukaan lahan mangrove di daerah ini sudah terlihat. Apalagi dengan ekspansi sawit beberapa tahun terakhir. Harus ada pengawasan ketika zonasi kawasan pesisir dan tata ruang dilakukan. Di situlah titik krusial, selama ini kita tak fokus ke arah itu."

Yusran juga menyoroti pengkavlingan kawasan pesisir yang marak dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun dalam UU Agraria kawasan pesisir disebutkan sebagai tanah negara, katanya, namun ada upaya segelintir orang membuat sertifikasi di lahan pesisir.

Contoh di Makassar, hampir seluruh kawasan pesisir dikavling dan disertifikatkan. Lahan-lahan di pesisir ini biasa ditimbun sebelum diperjualbelikan dengan harga cukup tinggi. Di Tanjung Makassar, harga lahan pantai yang ditimbun bisa mencapai puluhan miliar per kavling.

Sementara itu, menurut Ratna Fadilah, Director Project MAP Indonesia Sulsel, permasalahan mangrove ini bisa diselesaikan jika ada upaya serius oleh berbagai pihak. Salah satu solusinya, melalui pengelolaan mangrove dan tambak berkelanjutan.

Perbandingan antara luasan hutan mangrove dan tambak berkisar antara 80 dan 20 persen. "Kalau sekarang justru terbalik. Hampir tak ada kriteria jelas, padahal ada aturan," katanya.

Belum lagi masalah degradasi mangrove terselesaikan, muncul lagi ancaman pencemaran pupuk. Selama ini, nutrisi tambak terbesar dari urea. Dalam satu hektar mencapai satu ton, yang berdaya rusak besar.

"Hasil penelitian partisipatif dari warga yang kami bina menunjukkan penyebab kematian udang di tambak justru dari penggunaan urea yang berlebihan," ungkap Ratna.

Pengunaan urea dalam tambak karena sumber nitrogen yang memicu pertumbuhan alga– salah satu bahan nutrisi bagi tambak. Namun, penggunaan urea dalam takaran besar ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Selain tidak ekonomis, juga meningkatkan keasaman tanah.

"Ini menghambat penyerapan unsur hama tertentu. Urea yang berlebih juga mengancam kelangsungan hidup mikroorganisme dalam tanah dan menjadikan tanaman sukulen,  hingga mudah terserang hama maupun penyakit.

Kebiasaan buruk lain, dengan memberi makanan udang dan ikan mereka dengan apapun yang mereka miliki, seperti remah roti, biskuit, dan berbagai bahan makanan yang sebenarnya bisa memicu berbagai macam penyakit. (*)

Sumber: Mongabay