Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kurang Tidur Kronis Bisa 'Membunuh' Sel Otak
Oleh : Redaksi
Sabtu | 22-03-2014 | 08:37 WIB
mirror-neurons1.jpg Honda-Batam
Mirror neurons.

BATAMTODAY.COM - KURANG tidur itu tidak menyehatkan dan mengganggu kinerja kognitif. Tak ada yang membantahnya. Namun, dampaknya bagi kesehatan otak jauh mengkhawatirkan, terutama yang sering kurang tidur (kronis).


Bagi profesi yang selalu 'begadang' kronis seperti pekerja shift malam, mahasiswa, atau sopir truk, strategi untuk yang dilakukan memulihkan fisik itu dengan 'melunasi utang' tidur pada akhir pekan.


Sebelumnya, 'tidur panjang' seperti itu tidak memberikan efek jangka panjang. Tapi, sebuah studi baru dari Penn Medicine yang dipublikasikan dalam Journal of Neuroscience, menunjukkan bukti bahwa kurang tidur kronis mungkin lebih serius daripada yang diperkirakan sebelumnya. Bahkan dapat menyebabkan kerusakan fisik permanen dan matinya sel-sel otak.

Menggunakan model tikus yang kurang tidur kronis, Sigrid Veasey MD, profesor Kedokteran dan anggota dari Center for Sleep and Circadian Neurobiology di Perelman School of Medicine dan kolaborator dari Universitas Peking, telah menentukan bahwa sering melek dalam jangka waktu yang lama berkaitan dengan cedera dan kehilangan neuron, zat yang penting untuk kewaspadaan dan kognisi yang optimal, atau neuron locus coeruleus (LC).

"Pada umumnya, kami selalu berasumsi bahwa pemulihan kognisi secara total dilakukan setelah kurang tidur dalam jangka pendek dan panjang," kata Veasey, seperti ditulis Neuro Science News.

"Tapi beberapa penelitian pada manusia telah menunjukkan bahwa rentang perhatian dan beberapa aspek lain dari kognisi mungkin tidak normal, bahkan setelah melalui tidur untuk pemulihan selama tiga hari. Kami ingin mengetahui persis apakah kurang tidur kronis bisa melukai neuron, apakah cedera adalah reversibel, dan yang neuron mana yang terlibat," imbuhnya.

Tikus percobaan itu diperiksa setelah periode istirahat normal, terjaga pendek, atau terjaga diperpanjang, sesuai pemodelan pola tidur yang khas pada pekerja shift malam. Veasey menemukan bahwa dalam menanggapi kurang tidur jangka pendek, neuron LC mengatur protein sirtuin tipe 3 (SIRT3), yang penting untuk memroduksi energi dan tanggapan redoks mitokondria, dan melindungi neuron dari cedera metabolik.

SIRT3 sangat penting pada aspek kurang tidur jangka pendek untuk mempertahankan homeostasis metabolisme. Namun pada sisi terjaga diperpanjang, respon SIRT3 hilang.

Setelah beberapa hari pola tidur pekerja shift malam diterapkan, neuron LC pada tikus mulai menunjukkan berkurangnya SIRT3, meningkatkan jumlah sel yang mati, dan tikus kehilangan 25 persen dari neuron ini.

"Ini adalah laporan pertama bahwa kurang tidur dapat benar-benar berakibat pada hilangnya neuron," kata Veasey.

Menariknya, temuan ini menunjukkan bahwa mitokondria dalam neuron LC menanggapi kekurangan tidur ini dan dapat beradaptasi dengan kurang tidur dalam jangka pendek, tetapi tidak untuk terjaga dalam waktu lama. Hal ini menimbulkan kemungkinan bahwa entah bagaimana meningkatkan tingkat SIRT3 dalam mitokondria yang dapat membantu neuron menyelamatkan atau melindungi dari keseluruhan kekurangan tidur kronis atau diperpanjang.

Studi ini juga menunjukkan pentingnya tidur untuk memulihkan homeostasis metabolik dalam mitokondria di neuron LC dan mungkin daerah otak yang penting lainnya, untuk memastikan fungsi optimal selama jam terjaga.

Veasey menekankan, lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menentukan apakah fenomena yang sama terjadi pada manusia dan untuk menentukan durasi seperti apa yang menempatkan individu berisiko mendapatkan cedera saraf.

"Mengingat peran SIRT3 dalam respon adaptif terhadap kurang tidur, sejauh mana cedera neuronal dapat bervariasi di seluruh individu. Secara khusus, penuaan, diabetes, diet tinggi lemak dan gaya hidup dapat mengurangi semua SIRT3. Jika sel-sel pada individu, termasuk neuron, telah menyebabkan kadar SIRT3 berkurang akibat kurang tidur, sel-sel saraf orang-orang ini bisa mendapatkan risiko yang lebih besar untuk cedera."

Langkah selanjutnya adalah menempatkan model SIRT3 untuk diuji. "Jika kita dapat menunjukkan bahwa kita dapat melindungi sel-sel dan terjaga, maka kita mengarah pada terapi yang menjanjikan bagi jutaan orang-orang yang kekurangan tidur."

Tim juga berencana untuk memeriksa post-mortem (data-data orang setelah meninggal) dari pekerja malam untuk mencari bukti peningkatan hilangnya neuron LC dan tanda-tanda gangguan neurodegeneratif seperti Alzheimer dan Parkinson. Karena, beberapa model tikus sebelumnya telah menunjukkan bahwa lesi atau luka pada neuron LC dapat mempercepat jalannya penyakit tersebut.

"Meskipun tidak secara langsung menyebabkan penyakit tersebut, melukai neuron LC akibat kurang tidur berpotensi memfasilitasi atau mempercepat neurodegenerasi pada individu yang sudah memiliki gangguan ini," terang Veasey.

Walaupun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan ini, penelitian tersebut memberikan konfirmasi lain dari konsensus ilmiah yang berkembang pesat bahwa tidur lebih penting daripada yang diyakini sebelumnya. Di masa lalu, Veasey mengamati, "Tidak ada yang benar-benar berpikir bahwa otak dapat terluka yang sulit disembuhkan (ireversibel) akibat kurang tidur," simpul Veasey. (*)

Editor: Roelan