Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mangrove di Indonesia Selamat, Iklim Dunia Terbebas dari Tiga Miliar Metrik Ton Karbon
Oleh : Redaksi
Sabtu | 22-02-2014 | 07:22 WIB

BATAMTODAY.COM - Ekosistem mangrove memiliki arti penting bagi iklim global.  Dengan menyelamatkan mangrove berarti tiga miliar metrik ton karbon setidaknya tidak terlepas ke udara.  

Hutan mangrove sendiri memiliki kemampuan empat kali lipat dari hutan biasa sebagai penyimpan cadangan karbon dalam tanah.  Dengan demikian mangrove merupakan ekosistem penting jika bicara tentang mitigasi iklim global.

Dengan menyelamatkan mangrove sekaligus bisa menjawab janji Presiden SBY kepada dunia untuk menurunkan emisi karbon Indonesia ke tingkat 26 persen (41 persen jika ada komitmen bantuan internasional) pada tahun 2020. Indonesia sendiri memiliki 3,2 juta hektar mangrove atau hampir seperempat kawasan mangrove yang ada di dunia.

Menurut Daniel Murdiyarso, peneliti iklim dari Pusat Penelitian Hutan Internasional (CIFOR), satu hektar mangrove mampu untuk menyerap antara 600 - 1.800 ton karbon. Jika digunakan rerata maka 1.200 ton karbon dapat dipertahankan dalam 1 hektar bentang mangrove.  

Jika mangrove di Indonesia 3,2 juta hektar, sekurang-kurangnya 3 miliar metrik ton karbon dapat diselamatkan untuk tidak terlepas sebagai emisi ke udara.

"Namun itu hitung-hitungan di atas kertas. Faktanya, dari 3,2 juta hektar mangrove di Indonesia, hanya 46 persennya  yang masih baik," demikian Bagus Herudojo Tjiptono, dari Dirjen BPDAS dan Perhutanan Sosial, Kemenhut menjelaskan dalam Talkshow Restorasi Penghidupan Pesisir di CIFOR, Bogor, Kamis.

"Rehabilitasi mangrove makan waktu dan biaya. Dalam lima tahun terakhir Kemenhut merestorasi 31.600 hektar dari target 40.000 hingga akhir tahun 2014," jelasnya.

Kawasan mangrove sendiri yang masih baik di Indonesia berada di Papua, khususnya di Kabupaten Mimika dan Asmat. Mangrove di Papua meliputi 69 persen kawasan mangrove di Indonesia.


Tambak Udang Rusak Mangrove

Seperti manusia, mangrove juga amat rentan terhadap perubahan bentang ekofisik. Sebagai contoh, menurut Herudojo, bekas daerah tsunami di Aceh tidak semuanya dapat direhabilitasi karena substrat dasar telah berubah dari endapan lumpur berair yang cocok untuk mangrove, menjadi bentang pasir yang membuat akar mangrove mudah terbawa arus samudera.

Kerusakan mangrove sendiri paling besar diakibatkan oleh tambak udang.  Hal ini tidak dipungkiri oleh Coco Kokarkin Soetrisno, dari Dirjen Pembudidayaan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Saat ini, Kementrian Kelautan dan Perikanan tidak lagi mengalokasikan dana untuk ekstensifikasi tambak udang, kami fokus hanya untuk tambak yang terlanjur sudah dibuka. Program kami adalah intensifikasi bukan lagi ekstensifikasi. Dua puluh persen area tambak harus tetap dijadikan mangrove," jelas Coco.

"Program KKP saat ini sedang mengembangkan model akuakultur yang tidak lagi di areal mangrove, kami mencoba budidaya di area 12 mil dari tepi laut. Adapun di area mangrove hanya untuk usaha kecil,"  katanya.

Di Indonesia sendiri menurut data KKP, dari 682.858 hektar tambak yang ada, maka total terdapat 1,2 juta areal potensial untuk tambak.

Tidak semua bentang mangrove sebenarnya cocok untuk dibuka tambak udang intensif.  Senyawa pirit yang ada di area mangrove sendiri dapat menjadi racun bagi udang.

Ben Brown, peneliti dan aktivis penyelamat mangrove dari Mangrove Action Project menyebutkan sudah terlalu banyak contoh buruk dari pembukaan tambak, yang ujung-ujungnya tidak produktif dan memerlukan biaya pemulihan yang tinggi.

"Di Delta Mahakam, Kalimantan Timur, mangrove yang dibuka untuk tambak sudah lebih dari 60.000 hektar, sekarang rusak karena adanya endapan asam sulfat yang muncul terangkat dari area tersebut yang menyebabkan kematian udang. Mangrove hilang, tambak udang juga akhirnya tidak produktif," papar Brown.

Menurut Ben Brown, mengelola mangrove itu unik, berbeda dengan hutan biasa, karena dapat dikatakan tidak terdapat kearifan lokal nenek moyang yang diwariskan ke generasi sekarang. 

"Dulu mereka tidak pernah dihadapkan dengan kerusakan mangrove seperti sekarang. Jadi mereka tidak pernah membudidayakan mangrove, saat ini mengelola mangrove dan memulihkannya kembali harus dilakukan dengan metode yang cocok," paparnya. (*)

Sumber: Mongabay