Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Gunung Es di Antartika Terus Runtuh
Oleh : Redaksi
Jum'at | 17-01-2014 | 08:05 WIB
Antarctic-ice-sheets.jpg Honda-Batam
Gunung es di Antartika. (foto: tamu.edu)

BATAMTODAY.COM - Selama 15 tahun para ilmuwan telah mengamati bahwa gletser di Antartika kehilangan keseimbangannya. Lapisan es dan tepian gletser terus meluruh atau runtuh. Gletser menyusut dan menghanyutkan lebih banyak es ke lautan sekitar.


Salah satunya terjadi di gletser Pulau Pine, yang memiliki salah satu gunung es terbesar. Dampaknya sangat terasa pada hilangnya es di Antartika.

Para ilmuwan yang dipimpin oleh Gael Durand dari Universitas Grenoble di Perancis telah membuat perkiraan masa depan gletser dengan menggunakan tiga model yang berbeda. Ada kecenderungan yang sama dari model-model tersebut: "Bahkan tanpa lebih dipengaruhi oleh suhu laut atau udara, tetap akan terjadi pencairan. Ini adalah dinamika internal. Pertama, gunung es retak atau meleleh. Lalu akan memberi pengaruh terhadap kenaikan permukaan laut."

Durand memperkirakan akan terjadi peningkatan permukaan air laut lebih lanjut hingga satu sentimeter dalam 20 tahun ke depan. "Untuk gletser ini saja, akibatnya akan benar-benar besar," kata Durand.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2010 permukaan air laut global naik sebesar 3,2 milimeter -hampir dua kali lipat dari kurun waktu 20 tahun sebelumnya.

Hasil kajian yang ditunjukkan Angelika Humbert dari Alfred Wegener Institute (AWI) di Bremerhaven juga memperlihatkan hal serupa. Pakar geologi yang meneliti geltser Pulau Pine mencatat tingkat abstraksi gunung es itu. Dampaknya di masa depan tentu akan terasa pada kenaikan permukaan laut.

Studi terbaru tentang gletser ini disebut Humbert sebagai "kemajuan signifikan atas penelitian sebelumnya". Dengan rekan-rekannya di AWI dan Universitas Kaiserslautern, mereka telah mengamati retaknya gletser di ujung Pine.

Ketika terjadi keruntuhan, banyak massa es yang mengambang. Tim peneliti mempelajari proses yang menyebabkan keruntuhan di ujung geltser ini dan dinamika gletsernya.

"Studi baru menunjukkan bahwa dengan kecepatan luruh ini, gletser sekarang mencair pada tingkatan yang tak akan kembali lagi, kata Gael Durand. Es menghilang kuat karena massa mengambang dipengaruhi oleh arus laut hangat dari bawah. Oleh karena itu, terjadi percepatan melelehnya es dan hanyutnya lebih banyak es ke laut.

Bahkan jika suhu udara dan laut akan mendinginkan kembali ke 100 tahun yang lalu, gletser tidak akan pulih. Dan trennya tak akan mengarah ke situ lagi, kata Durand.

Pakar geltser Jerman, Angelika Humbert mengatakan, perlu waktu lima sampai sepuluh tahun untuk mengembangkan model guna membuat perkiraan yang sangat handal tentang pencairan es. Untuk mendapatkan data dasar bagi model tersebut, juga merupakan tantangan besar bagi ilmu pengetahuan. Pengukuran di bagian bawah gletser adalah contoh yang sangat kompleks, kata Humbert.

Gael Durand melihat hasil terbaru dari kajian geltser, sangat penting untuk penelitian iklim global. "Gletser ini telah sampai pada titik di mana tidak ada jalan untuk kembali normal lagi. Perilaku kita mengubah iklim. Ini akan terus berubah. Menurut pendapat saya ini adalah salah satu contoh pertama di mana kita telah melewati titik kritis," katanya.

Durand membandingkan situasi dengan pengendara sepeda di puncak bukit, terdorong ke bawah secara kuat dan tidak lagi dapat lagi mengerem.

"Kita punya alasan untuk takut, bahwa penurunan keadaan akan terjadi terus-menerus, bahwa gletser lain di kawasan lain berperilaku sama dan bahwa bagian dari gunung es ini runtuh," ujarnya. 

Mungkin hal ini kan terjadi pada berabad-abad waktu nanti, tetapi dalam waktu dekat kenaikan permukaan laut akan terus terjadi.

Laporan terbaru dari IPCC memperingatkan, bahkan sebelum dampak destabilisasi yang terjadi di gletser, di Antartika barat. "Fakta bahwa ini telah terjadi di gletser Pulau Pine, dan ini ternyata sudah terbukti, " kata Durand. (*)

Sumber: Deutsche Welle