Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

KADIN Minta Pemerintah Fokus Turunkan Defisit
Oleh : Surya
Jum'at | 20-12-2013 | 13:26 WIB
rizal ramli.jpg Honda-Batam

Ketua Umum Kadin Rizal Ramli

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan ekonomi 2014 akan tumbuh melambat dari 5,7% menjadi 5%. 


Sehubungan dengan itu, pemerintah disarankan agar lebih fokus dan proaktif untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dan defisit neraca pembayaran. 

Caranya, antara lain dengan memanfaatkan momentum melemahnya rupiah untuk meningkatkan ekspor dan menurunkan impor.

"Perekonomian kita tahun depan tidak lebih baik daripada sekarang. Penyebabnya situasi domestik masih terbelit berbagai masalah. Selain itu, perekonomian global juga berat, terutama adanya pengurangan stimulus moneter (tapering) yang dilakukan Bank Sentral Amerika," papar Ketua Umum Kadin Indonesia Rizal Ramli, kepada wartawan usai memimpin rapat pengurus Kadin kemarin. 

Menurut Rizal Ramli, defisit transaksi berjalan dan defisit neraca pembayaran menjadi penyebab masih tertekannya nilai tukar rupiah tahun depan. Kondisi ini meningkatkan harga pangan sekitar 15-20%, terutama yang bahan utamanya berasal dari impor.  

Namun pada saat yang sama, melemahnya rupiah akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil komoditas ekspor. 

Defisit transaksi berjalan yang tinggi dan berkepanjangan telah terjadi sejak kuartal keempat tahun 2011. Hingga kini defisit itu sudah memasuki pekan kesepuluh. Sekarang defisitnya jauh lebih tinggi, yaitu sebesar US$9,9 miliar pada kuartal ketiga tahun ini. 

Diperkirakan defisit neraca transaksi berjalan Indonesia tahun depan masih di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).  Padahal idealnya maksimal hanya 1,7% dari PDB.

"Pemerintah perlu menyikapi dengan tepat dan cepat defisit transaksi berjalan, karena kecenderungannya akan meningkat, bukan turun," urai penasehat ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) ini.

Sejak Agustus silam Rizal Ramli yang juga Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid sudah mengingatkan terjadinya quatro-defisits sekaligus. 

Saat itu, defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, defisit Neraca Berjalan -U$9,8 miliar, defisit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada Q1-2013, dan defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun. Jika pemerintah tidak berhasil menurunkan empat defisit tersebut, tidak mustahil Indonesia akan kembali terpuruk.

Agar defisit neraca transaksi berjalan tidak semakin memburuk, Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5%. Kebijakan ini dianggap ikut mendorong perlambatan ekonomi dan menghambat impor.

Namun begitu, Kadin menilai kebijakan fiskal juga harus mampu mendorong kebijakan moneter untuk lepas dari defisit neraca pembayaran. 

Sehubungan dengan itu, Kadin minta pemerintah dan perbankan tidak memberlakukan pengetatan likuditas dan kredit secara merata (homogen). 

Sektor-sektor yang sudah jenuh, seperti properti di perkotaan, kreditnya memang harus diperketat. Namun khusus untuk daerah-daerah penghasil komoditas ekspor justru harus diberi insentif dan tambahan alokasi kredit.

"Melemahnya rupiah tentu akan memberatkan pemerintah dan swasta yang banyak memiliki utang dolar. Untuk itu, pemerintah sebaiknya tidak membuat kebijakan yang kontradiksi dengan tujuan menekan defisit. Mobil murah, misalnya, adalah contoh nyata kebijakan yang akan mendorong peningkatan impor suku cadang dan mesin. Ini akan makin menekan neraca perdagangan dan neraca pembayaran kita," ujar Wakil Ketua Umum bidang Industri dan Perdagangan Johannes Kennedy.

Wakil Ketua Kadin Indonesia Komite Cina (KIKC) Jacob Hendrawan menyatakan masih tidak menentunya perekonomian domestik dan global hendaknya membuat pengusaha lebih berhati-hati dan tidak banyak melakukan ekspansi usaha. 

Yang terbaik yang bisa dilakukan adalah melakukan konsolidasi usaha dan keuangan.  Langkah ini akan membantu perekonomian Indonesia agar tidak makin memburuk.

"Sebaiknya pengusaha tidak membuat utang luar negeri baru, terutama dalam dalam mata uang asing. Melemahnya rupiah akan membuat beban keuangan kian buruk. Pemerintah dan swasta juga harus siap mengangtisipasi kebijakan The Fed yang akan melakukan tapering yang diperkirakan akan terjadi di awal tahun depan. Pengetatan fiskal moneter harus diiringi dengan reformasi struktural. Pasalnya, risiko terbesar yang mungkin dihadapi adalah volatilitas di pasar keuangan," ujar Jacob Hendrawan

Editor : Surya