Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kontrak Politik
Oleh : Redaksi
Jum'at | 22-11-2013 | 11:18 WIB

Oleh: Raja Dachroni*


KELUARNYA Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15 Tahun 2013 tentang larangan pemasangan alat peraga bagi para calon legislatif telah menimbulkan polemik tersendiri bagi caleg.

Apalagi bagi caleg yang sudah memesan baliho dan spanduk dalam jumlah yang relatif banyak. Ini jelas menyulitkan para caleg untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Apalagi mereka berada di daerah pemilihan yang barangkali sulit dijangkau untuk blusukan.

Di luar permasalahan ini, penulis berpikir keluarnya PKPU No. 15 Tahun 2013 ini punya efek positif bagi masyarakat untuk mengajak para caleg bertatap muka langsung dan menyusun kontrak politik kepada calon wakil rakyat yang berkompetisi pada Pemilu Legislatif 2014 kelak.

Dari PKPU ini para caleg mau tidak mau harus menemui konstituennya jika ingin dikenal dan dekat dengan masyarakat. Bermodal hal itu  tentunya proses interaksi antara pemilih dan caleg yang akan dipilih terjadi. Momentum ini juga bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mengenali calegnya lebih dalam lagi dan mengikat janji politik sesuai dengan tupoksinya nanti mewakili rakyat atau melakukan kontrak politik bersama calon wakil rakyat yang akan mereka pilih pada Pemilu 9 April 2014 mendatang.

Mengapa harus kontrak politik? Dua kali Pemilu sebelumnya, Pemilu 2004 dan 2009 seharusnya membuka mata pemilih bahwa sebagian besar caleg dan partai politik tidak memiliki komitmen yang kuat untuk terus menjaga dan menjadi corong bagi masyarakat agar mampu mengawal kinerja eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan. Para caleg yang telah terpilih kemarin seolah-olah tak mampu berbuat banyak dan terkesan hanya menjadi lembaga stempel bagi kepentingan elit tertentu. Dan mereka seolah-olah seperti kacang yang lupa akan kulitnya.

Sebagian anggota dewan yang terpilih tidak pernah turun dan berbuat banyak bagi kontituen yang sudah memilih mereka secara khusus dan masyarakat secara umum. Mereka menganggap mereka sudah mengeluarkan uang dalam jumlah yang sangat besar untuk duduk menjadi anggota dewan yang terhormat itu. Guna mengikat komitmen-komitmen itu penting bagi masyarakat untuk membuat kontrak politik yang itu disusun sesuai dengan kebutuhan dan tupoksi anggota dewan itu sebenarnya seperti apa.

Dalam kontrak politik itu masyarakat harus bersatu padu, berembug tentang permasalahan apa yang ada di tempat mereka baik secara umum maupun secara khusus lalu disusun dalam sebuah draft yang itu disebut sebagai kontrak politik. Tentunya, sebelum menyusun masyarakat juga harus tahu tugas anggota DPR/DPRD itu apa. Sehingga kemudian menyusun draft kontrak politik tentunya akan semakin mudah karena konsepnya sudah ada. Tinggal bagaimana nanti kontrak politik itu dikawal secara berkala setelah mereka sudah jadi nanti. Cara-cara seperti ini sudah dilakukan di kota-kota besar baik dalam negeri maupun luar negeri sudah idealnya memang masyarakat mencontoh hal baik ini.

Dengan demikian, secara praktis kontrak politik berfungsi untuk mengikat para calon anggota legislatif terhadap janji-janji yang diucapkan selama kampanye karena apa kultur pejabat dan wakil rakyat di Indonesia memang masih butuh kontrak-kontrak politik semacam itu. Pejabat kita belum bisa seperti di Jepang misalnya, yang bisa dengan lapang dada mengakui kesalahan, atau mundur dari jabatan ketika tak mampu memenuhi janji-janjinya pada rakyat.

Di samping itu, di dalam draft kontrak politik in bisa disesuaikan dengan kenyataan pahit selama ini masyarakat rasakan terhadap anggota dewan yang selama terpilih jarang sekali turun ke masyarakat. Penulis contohkan secara khusus masyarakat suatu daerah atau tempat bisa meminta dalam kontrak tersebut agar para caleg yang dipilih nanti rajin bersilaturahim di tempat mereka dan mengadvokasi program-program yang bisa membangun tempat mereka menjadi lebih baik lagi.

Secara umum, kontrak politik bisa sesuai tupoksi mereka secara umum pula yakni legislasi, penganggaran dan pengawasan. Untuk Tanjungpinang misalnya bisa dibuat perjanjian agar caleg yang terpilih bisa membentuk pansus bauksit karena selama ini DPRD juga kita nilai belum berbuat apa-apa dalam mengawasi permasalahan eksploitasi bauksit yang membabi buta. Atau meminta caleg yang jadi nanti untuk membuat Perda yang memang dibutuhkan masyarakat saat ini. Dengan demikian, dalam konteks demokrasi langsung dengan sistem multi partai dan politisi-politisi yang 'pelupa' sudah seharusnya kontrak politik harus disusun oleh masyarakat sejak dini sehinggga masyarakat juga mendapatkan penjelasan apa yang akan mereka buat selama lima tahun ke depan ketika terpilih nanti. Dan penulis siap membantu dan memfasilitasi terkait permasalahan ini. 

*) Penulis adalah Direktur Lembaga Kajian Politik dan Otonomi Daerah (LKPOD) dan
Dosen STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang