Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pembahasan RUU KUHP

DPR Tetap Dukung Penguatan Lembaga Penegakan Hukum
Oleh : Surya
Selasa | 30-07-2013 | 16:40 WIB

JAKARTA, batamtoday - Ketua Komisi III DPR RI I Gede Pasek Suardika menegaskan jika DPR RI tetap mendukung penguatan lembaga penegakan hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) khususnya dalam penyadapan.


Hanya saja perlu diatur lebih detil khususnya terkait dengan hal-hal yang bersifat luar biasa atau lex specialist, agar bisa diawasi dan tidak menyalahgunakan kewenangan penyadapan yang diberikan dalam sistem hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sedang dibahas di DPR RI.

'Kami tetap mendukung dan akan terus memperkuat kewenangan lembaga penagak hukum termasuk penyadapan yang dimiliki KPK. Hanya perlu diatur lebih detil dan teknis seperti di luar negeri, agar kewenangan itu tidak disalahgunakan. Jadi, tak ada niat untuk melemahkan KPK dengan mengurangi kewenangan dalam penyadapan," tandas I Gede Pasek dalam diskusi RUU KUHP bersama pakar hukum pidana UI Akhiar Salmi di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (30/7/2013).

Gede Pasek berharap kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK selama ini dilakukan terhadap seribuan orang, tapi baru dua kasus yang berhasil. Sementara yang tidak terjerat KPK kasusnya besar, tapi tidak tertangkap oleh KPK.

"Jadi, DPR mendukung semua lembaga penegak hukum tetao memiliki kewenangan penyadapan. Adanya metodologi pengawasan dalam penyadapan itu nanti untuk menjaga ketertiban internal KPK sendiri," ujarnya.

Penyadapan tersebut diakui Gede Pasek menjadi perdebatan tersendiri dalam pembahasan revisi KUHP, dan ada usulan dibentuk lembaga penyadapan bagi seluruh penagak hukum, dan bukan hanya untuk KPK. Lembaga itu berdiri sendiri, namun bentukmya seperti apa, itu belum ada kesepakatan.

"Selain itu daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi-fraksi belum ada yang masuk, sehingga pembahasannya akan dilakukan pertengahan Agustus nanti,"  tambahnya.

Dengan demikian penyadapan tersebut kata Gede Pasek, tetap pada kategori tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana korupsi.

"Kita tetap berharap banyak pada KPK dengan penyadapan itu. Dan, untuk menjaga kepastian hukum kita berharap KPK tak terlalu lama menetapkan seseorang sebagai tersangka. Perlu dibatasi waktu, dan setidaknya jangan sampai setahun, agar proses beracara itu cepat, dan murah," tegas politisi Demokrat itu.

Dalam 776 pasal revisi KUHP tersebut menurut Gede Pasek, juga mengatur pasal hukum adat terkait perzinaan, kumpul kebo, santet, hukuman mati.

"Kalau dalam hukum adat tersebut seperti kasus perzinaan sudah diselesaikan di tingkat adat, maka nantinya tak perlu diteruskan ke pengadilan. Juga pidana mati itu meski tetap ada dan didukung masyarakat, namun tidak mudah dalam pelaksanaannya," katanya.

Menurut Akhiar Salmi, selama penyadapan itu lebih efektif bagi tugas KPK, kenapa tidak diperkuat? "Saya justru khawatir kalau KPK harus izin terlebih dahulu ke pengadilan atau ke lembaga penyadapan untuk menyadap pejabat negara yang diduga korupsi, itu bisa terjadi tawar-menawar dan kongkalikong antara koruptor dan lembaga penyadapan itu sendiri. Itu berarti terjadi penyalahgunaan dan korupsi baru, dan pasti akan menghambat kinerja KPK. Jadi, KPK harus kita dukung, meski masih ada kelemahan, karena lembaga penagak hukum yang ada mengecewakan rakyat," ungkapnya.

Sementara itu menyangkut penghinaan terhadap presiden, Akhiar Salmi berharap presiden sebagai kepala negara tidak dihina-dina seperti selama ini karena presiden itu simbol negara.

"Tapi, bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghinaan kepala negara ini. Kita tunggu saja. Bahwa presiden harus dihormati karena simbol negara yang kita cintai," katanya.

Gede Pasek menegaskan jika penghinaan dan mengkritisi presiden itu berbeda. "Kalau mengkritisi presiden dengan kebijakannya dalam negara demokrasi itu sah-sah saja. Tapi, kalau menghina presiden perlu aturan yang lebih jelas dan tegas, agar tidak dipersepsikan salah oleh masyarakat seperti di masa Orde Baru. Misalnya penghinaan itu unsur apa saja? Inilah yang mesti dijelaskan secara rinci dalam KUHP,"  pungkasnya.

Editor : Surya