Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kebakaran Hutan, Walhi Akan Gugat Presiden
Oleh : Redaksi
Jum'at | 19-07-2013 | 22:49 WIB

JAKARTA - Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), sebuah organisasi penyelamat lingukngan, dalam waktu dekat ini akan mengajukan gugatan warga (citizen lawsuit) dan class action terkait kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, terutama di Riau dan Jambi. Walhi juga telah melaporkan 117 perusahaan di Riau plus dua di Jambi kepada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 


“Usai Lebaran ini kita akan ajukan gugatan,” kata Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional Walhi, dalam diskusi tentang kebakaran hutan dari kajian aspek hukum di Jakarta, Kamis (18/7/2013) kemarin seperti dilansir laman Mongabay.

Dia mengatakan, citizen lawsuit dilayangkan karena pemerintah lamban dalam penanganan kebakaran hutan, termasuk kabut asap di Riau dan Jambi, baru-baru ini. Kejadian serupa pun terus terulang setiap tahun.

Menurut dia, saat kabut asap, penyediaan masker oleh pemerintah minim, hingga warga harus membeli sendiri. Pengerahan personel TNI pun lama. Kejadian sudah berlangsung beberapa minggu, baru menurunkan TNI untuk mengevakuasi warga. 

Dalam gugatan itu, Presiden, menjadi tergugat pertama, disusul beberapa kementerian dan pemerintah daerah.

Dalam tuntutannya nanti, Walhi menuntut pemerintah mengeluarkan kebijakan guna melindungi warga negara yang berada dalam ancaman udara buruk karena melebihi ambang batas kesehatan, pencegahan, dan penanggulangan cepat atas peristiwa kebakaran hutan di sejumlah pulau di Indonesia.

Walhi juga meminta pemerintah serius dalam mengevaluasi perizinan maupun konsesi baik kebun dan hutan tanaman industri (HTI). Di lapangan, banyak lahan gambut dalam ‘dimiliki’ perusahaan. Seharusnya, di atas lahan itu tak boleh ada izin ataupun konsesi. “Apalagi lahan gambut ini berpotensi besar terjadi kebakaran hutan,” katanya.

Walhi menuntut penegakan hukum termasuk menangkap pelaku-pelaku, baik perseorangan maupun korporasi, yang bertanggung jawab atas wilayah konsesi mereka.

Sebelum upaya ini, Walhi telah melayangkan somasi antara lain kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pemerintah daerah termasuk kepolisian RI.

Pada Juni lalu, Walhi sudah melaporkan 117 perusahaan yang terlibat kebakaran hutan di Riau termasuk dua perusahaan di Jambi, PT Lestari Asti Jaya dan PT Wira Karya Sakti. Di Riau, dari 117 perusahaan itu, 32 perusahaan berstatus hak guna usaha (HGU), 26 HTI milik APP dan 58 HTI RAPP.

“Bukti-bukti di 117 perusahaan bakar hutan ini diharapkan dapat membantu KLH tegakkan hukum.” Dengan laporan ini, kata Muhnur, Walhi ingin menyampaikan bahwa tak bisa membiarkan kebakaran terjadi dengan alasan apapun.

Begitu juga class action, diajukan kepada perusahaan yang nyata-nyata membakar hutan dan lahan. Jadi, aksi Walhi bersamaan, pertama, meminta pemerintah bertindak lewat citizen lawsuit, kedua, class action kepada perusahaan yang telah menimbulkan kerugian bagi warga.

Pada kesempatan sama, Andri G Wibisana, Ketua Sub Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, mengatakan, para perusahaan pembakar hutan dan lahan di Indonesia, tak jera-jera karena pemerintah jarang meminta atau menggugat ganti rugi atas kerugian negara dampak kebakaran itu.

Kala terjadi kebakaran, wajar jika pemerintah mengalokasikan dana besar untuk menangani masalah ini. Namun, pemerintah lupa meminta kembali uang itu lewat menggugat balik perusahaan. Praktik menggugat kompensasi oleh pemerintah ke perusahaan ini sudah berjalan di negara lain, seperti Amerika Serikat.

“Di Indonesia tak pernah terjadi. Tak pernah pemerintah minta ganti rugi kepada perusahaan perusak. Jika ini dibiarkan terus menerus maka negara ini bisa jadi surga para pencemar,” tegasnya.

Untuk itu, perlu dipikirkan kemungkinan menggugat pemerintah agar meminta balik kompensasi kepada perusahaan perusak atau pencemar. “Kalau dibiarkan sangat bahaya.  Jadi pemerintah kasih uang subsidi bagi para pencemar,” ujar Andri.

Aturan hukum di Indonesia, katanya, sebenarnya sudah cukup banyak yang bisa menjerat para pelaku terutama perusahaan pembakar hutan.  â€œUntuk menjerat pelaku kebakaran hutan tak susah secara hukum. Delik bisa formil. Tapi lagi-lagi apakah ini diterapkan? Tidak dalam praktiknya,” tukas Andri.

Dia menyebutkan, ada UU tentang kehutanan pada Pasal 49 gamblang mencantumkan pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Hukuman pun cukup berat dan denda tinggi.  â€œDengan UU Kehutanan ini terbakar saja sudah bisa dipidana, pembuktian sangat mudah. Tanpa perlu melihat akibat,” tegasnya lagi.

Lalu, UU Lingkungan Hidup No 32, jerat hukum bisa dari delik materiil dan formil, dan ada beberapa peraturan pemerintah seperti PP No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan lain-lain. (*)

Editor: Dodo