Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MPR Berharap Cari Capres Jangan Seperti Cari Pengobatan Alternatif
Oleh : si
Senin | 19-11-2012 | 16:38 WIB
ahmad-farhan_liranews.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua MPR RI Farhan Hamid

JAKARTA, batamtoday - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI berharap agar rakyat Indonesia tidak memilih calon presiden yang hanya mengadalkan popularitas saja, karena popularitas bisa dibuat oleh lembaga survei. Calon presiden yang dibutuhkan adalah yang mampu menjaga dan menegakkan kedaulatan bangsa, bukan sebaliknya kedaulatan asing.


"Jadi, jangan sampai seperti pengobatan alternatif, melainkan harus figur pemimpin yang mampu menjaga, menegakkan, dan memperhatikan kedaulatan bangsa ini agar tidak menguntungkan asing dengan kebijakan yang bersifat liberal atau neoliberal seperti sekarang ini," tandas Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid dalam dialektika demokrasi 'Capres Alternatif Antara Wacana dan Peluang' bersama Ketua FPKB MPR RI M. Lukman Edy, dan pengamat politik Teguh Santosa di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (19/11/2012).

Namun menurut Farhan, calon presiden itu bisa melalui jalur partai politik (parpol) atau independen dengan tidak melakukan pembatasan seperti saat ini. "Calon alternatif bisa bisa berasal dari parpol atau independen sebagai alternatif, tetapi itu bisa dilakukan hanya dengan mengamandemen UUD NRI 1945. Sebab, UUD hanya memberi peluang kepada parpol atau gabungan parpol untuk mengusng capres-cawapres tersebut," katanya.

Sedangkan Lukman Edy mengatakan, rakyat harus diberi peluang untuk memilih lebih banyak capres. Hanya saja kalau jalur independen menurutnya, itu jalan buntu, tidak mungkin karena konstitusi hanya memberi peluang terhadap parpol atau gabungan parpol. Seperti dijelaskan dalam Pasal 6 UUD NRI 1945.

"Capres independen itu tidak direspon oleh parpol, kecuali dilakukan amandemen," kata Lukman.

Namun demikian, masih ada pelung bagi capres independen tersebut, yaitu melalui parpol menengah ke bawah. Setidaknya parpol berbasis agama (PBA), seperti PKS, PPP, PKB dan PAN. Koalisi parpol berbasis agama ini diyakini Lukman bisa mengusung capres independen. Mengapa? Sebab, parpol menengah ke atas seperti Demokrat, PDIP, dan Golkar sudah mempunyai capres sendiri-sendiri.

"Apalagi dengan PT Capres 15% - 20 %, maka parpol besar tersebut sudah pasti bisa maju sendiri, tanpa koalisi," tambah Anggota DPR asal Riau ini.

Dengan demikian, parpol tengah ke bawah berbasis agama tersebut menurut Lukman harus membangun koalisi dalam konteks mengusung capres. Koalisi PKS, PPP, PAN dan PKB bisa tembus 30 % dan itu pasti lolos PT capres. Sejauh itu harus dijaring melalui konvensi seperti dilakukan Golkar.

"Golkar membuat konvensi di saat akan hancur, dan akhirnya mendapat respon positif dengan konvensi capres. Nah, parpol berbasis agama ini juga diambang kehancuran, maka dengan konvensi capres, membangun koalisi permanen sampai penusunan kabinet, diharapkan akan bersatu dan kuat," tegas Lukman.

Sementara Teguh Santosa mengingatkan agar memilih capres tidak saja karena popularitas. Apalagi, popularitas di lembaga survei selama ini belum menjelaskan siapa sebenarnya di A, si B, dan si C yang namanya terus populer sebagai capres tersebut. Media juga harus menjelaskan track record-rekam jejaknya kepada rakyat tentang siapa, dan apa yang telah dan akan dilakukan oleh capres. "Jangan sampai popularitas mengalahkan kompetensi," katanya.

Untuk menjadi negara berdaulat menurut Teguh, sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika itu dibantu oleh Menteri Perekonomian Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie, Indoensia sudah mulai menata kedaulatan ekonomi bangsa ini termasuk nasioanlisasi Migas.

"Tapi, sayang umur pemerintahan Gus Dur tersebut kurang dari dua tahun, dan akhirnya secara politik dijatuhkan oleh DPR pada 23 Juli 2001. Dan, ke depan saya optimis masih banyak kader bangsa ini yang mampu memimin negara ini berdaulat, dan jauh dari neoliberalisme," pungkas Teguh.