Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Selebaran Iklan Pembantu Picu Ketegangan Malaysia dan Indonesia
Oleh : dd/ksea
Senin | 19-11-2012 | 13:57 WIB

KUALA LUMPUR, batamtoday - Kehebohan baru-baru ini timbul gara-gara selebaran kertas murahan yang ditemukan di sebuah jalan di Kuala Lumpur mencerminkan ketegangan panas akan perlakuan terhadap pembantu rumah tangga Indonesia di negara tetangganya yang lebih makmur di utara.


Selebaran berisi kata-kata "PRT Indonesia kini DIOBRAL!!!" menarik perhatian Anis Hidayah, direktur eksekutif Migrant Care, lembaga yang gencar melakukan advokasi bagi pembantu rumah tangga wanita Indonesia, yang berpusat di Jakarta. Anis memotret iklan tersebut dan menyebarkannya lewat Twitter, memicu protes di Indonesia.

Dengan segera, menteri luar negeri kedua negara bertemu untuk membicarakan masalah ini. Menteri SDM Malaysia S. Subramaniam berjanji untuk menyelidiki insiden ini dan menghukum para pelakunya menurut hukum anti perdagangan manusia Malaysia.

Beberapa pihak menganggap tanggapan terhadap iklan itu terlalu ekstrim. Mergawati Zulfakar, seorang penulis kolom untuk The Star, menyatakan reaksi Jakarta atas iklan itu "berlebihan". Di Jakarta, pewarta berita senior Metro TV, Desi Anwar, setuju bahwa protes itu dibesar-besarkan.

"Ini bukan hasil koresponden diplomasi, juga tidak disiarkan sebagai iklan 30 detik di TV nasional. Ini hanyalah secuil kertas yang kemungkinan besar dibuat seseorang yang mungkin menyalin ide ini dari iklan yang menjual pembersih karpet," ujar Desi kepada Malaysian Insider.

Dikobarkan oleh pendapat dan dipicu kisah mengerikan, masalah PRT telah menjadi masalah yang tidak terselesaikan antara Indonesia dan Malaysia sejak kasus Nirmala Bonat, seorang PRT muda yang menderita luka bakar dan dipukuli oleh majikannya, menjadi tajuk berita pada tahun 2004. Indonesia berhenti mengirimkan PRT ke Malaysia pada tahun 2009, dan mencabut larangan itu pada bulan Desember 2011.

Perlakuan tidak manusiawi

Kelihatannya, selebaran ini disebarkan oleh sebuah agen penyalur PRT. Rubini Resh dari Smart Labour Services menjelaskan, hal ini dimaksudkan hanya sebagai iklan untuk menarik perhatian tentang potongan harga 40% akan biaya perekrutan dan penyaluran.

Malahan, harga 7.500 ringgit Malaysia ($2,449) di selebaran ini jauh lebih tinggi dari batas 4.511 ringgit Malaysia ($1,475) untuk agen perekrutan yang disepakati oleh kedua pemerintah di Memorandum Bandung pada bulan Mei 2011, yang membuat Indonesia mencabut larangan ekspor tenaga kerjanya.

"Ini iklan yang sudah sangat usang. Saya amat menyesal," kata Rubini kepada The Jakarta Globe.

Pengungkapan kata yang kasar dalam selebaran itu sayangnya tercermin dalam perlakuan beberapa majikan.

Saina Sanan, asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, berkata kepada Khabar Southeast Asia bahwa dia dipukuli oleh majikannya di Subang, pinggiran Kuala Lumpur, tujuh tahun yang lalu. "Majikan berkata karena dia telah 'membeli' saya, saya adalah miliknya," tuturnya.

Pada saat mencoba mendapatkan perlindungan dari agennya, dia ditanya apakah dia malas. Dia gusar akan pertanyaan agen tersebut dan meninggalkan pekerjaan ini dengan muak. Dia berkata bahwa dia kecewa ketika agen menuntut pembayaran karena tidak menuntaskan kontraknya.

Laporan akan penindasan terus membebani hubungan bilateral. Pada hari Jumat, sebuah pengadilan Malaysia mendakwa tiga petugas polisi yang digugat karena beramai-ramai memperkosa seorang pegawai rumah makan dari Indonesia di negara bagian Penang setelah menghentikan wanita itu untuk memeriksa surat-suratnya. Ketiga pria menyatakan diri tidak bersalah.

Pada hari Kamis, Kementerian Luar Negeri Malaysia mengeluarkan pernyataan yang melaporkan penangkapan seorang pria Malaysia dari Seremban, dekat Kuala Lumpur, yang dituduh memperkosa PRT-nya yang berusia 15 tahun dari Indonesia, dan istrinya, yang dilaporkan menindas PRT tersebut.

"Pemerintah secara keras mencela tindakan tidak manusiawi yang memalukan ini," demikian isi pernyataan itu, menurut AFP.

Penghidupan yang layak

Meskipun terjadi peristiwa semacam ini, warga Indonesia terus berdatangan ke Malaysia. Sutimah Abdul, seorang PRT Indonesia, menjelaskan mengapa Malaysia tetap menjadi negara tujuan favorit bagi pekerja migran.

"Kemiripan bahasa dan budaya merupakan alasaan utama. Biaya hidup masih terjangkau. Dengan gaji 700 ringgit Malaysia ($230), kami masih bisa menabung 400 ringgit Malaysia ($130) setelah dikurangi biaya sewa dan makan, jika Anda hemat," katanya.

Sutimah, seorang pembersih di apartemen di Jalan Kelang Lama, Kuala Lumpur, berkata dia tidak mendapatkan satu hari libur dalam seminggu seperti tertera dalam memo tahun 2011 ini. Namun demikian, untungnya, dia tidak diharuskan bekerja dari subuh hingga tengah malam.

Saina, yang berasal dari Lombok, kembali ke Malaysia setelah lima tahun, mencari kerja sendiri tanpa agen penyalur. Dia ibu tunggal satu anak; gaji yang diperolehnya di Malaysia dapat membiayai pendidikan anaknya.

Untungnya, dia menemukan pekerjaan sebagai pembantu dengan majikan yang hanya membutuhkan dia di siang hari, sehingga dia dapat bekerja membersihkan rumah lain paruh waktu di sore hari.

"Tujuan datang ke Malaysia adalah mencari uang. Tidak ada alasan lain," ujar Saina.

Dia berpendapat, mencari majikan yang baik bergantung kepada kemujuran.

"Seperti ini halnya. Jika majikan baik, kami akan membalas dengan baik. Jika majikan tidak baik, maka jangan harapkan kami bekerja sebaik-baiknya."