Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sturman Sebut Ekspor Pasir Laut Fasilitasi Penambahan Wilayah Singapura, Bakal Banyak Pulau Tenggelam di Kepri
Oleh : Irawan
Minggu | 06-10-2024 | 12:32 WIB
sturman_panjaitan_b11.jpg Honda-Batam
Mantan Komandan Pasukan Marinir Mayor Jenderal (Pur) TNI Sturman Panjaitan , Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP asal Provinsi Kepri (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Pro kontra pembukaan kembali keran ekspor pasir laut kembali memanas dalam pekan ini, pasca mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra diduga memiliki sebuah perusahaan yang turut mendaftar dalam proyek tambang pasir laut.

Perusahaan yang dimiliki Yusril Mahendra itu diduga bernama PT Gajamina Sakti Nusantara, yang merupakan salah satu dari 65 perusahaan yang antre untuk izin penambangan itu.

Selain itu, ada pula dugaan perusaahaan yang dmiliki oleh Menteri Kelautan dan Perikan Rokhmin Dahuri juga mengajukan izin tambang pasir laut, melalui PT Bumi Lautan Samudera.

Di dalam akta perusahaan tertulis putri mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang bernama Rahmania Kannesia Dahuri, menjabat sebagai komisaris.

Menanggapi hal ini, Mantan Komandan Pasukan Marinir Mayor Jenderal (Pur) TNI Sturman Panjaitan menyatakan secara tegas menolak pembukaan kembali keran ekspor pasir laut ke Singapura oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Kalau ekspor pasir laut kembali dibuka, plau-pulau di Singpura itu bertambah-tambah, dan wilayahnya akan ke Indonesia. Jelas ini mengancam wilayah NKRI," kata Sturman Panjaitan kepada BATAMTODAY.COM belum lama ini.

Selain itu, kata Sturman, akan banyak pulau di Kepri yang bakal tenggelam seperti Pulau Nipah, karena pasirnya dikeruk untuk diekspior ke Singapura.

"Itu nggak boleh lagi, kalau bisa dibatalkan, tapi kita bisa ngatur apapun, apabila mungkin dibatalkan saja. Berbahaya itu," katanya.

Sturman Panjaitan yang kini menjadi Anggota DPR Ri dari daerah pemilihan Kepulauan Riau (Kepri) ini meminta pemerintah kembali menghitung ulang dampak secara ekonomi, baik negatif maupun positifnya.

"Kalau dikatakan memberikan dampak ekonomi, itu kepada siapa? Apakah kalau ekspornya dibuka, masyarakat pesisir akan mendapatkan lowongan pekerjaan di situ. Kalau dikatakan ada pendapatan untuk daerah saya, tidak tahu persis gimana menghitungnya," ujar Sturman.

Anggota Komisi I DPR yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen ini berharap agar pemerintah segera menghitung dampak positif dan negara dari pembukaan keran ekspor pasir laut ke Singapura, dengan dalih ekspor hasil sedimentasi laut.

"Saya harap segera dihitung dampak dampak positif dan negatifnya. Berapa persen terhadap persen terjadap ekonomi, berapa persen terhadap kerusakan ekosistem dan dampak-dampak lain. Harus dihitung betul, tidak langsung dibuka ekspornya," tegas Sturman.

Karena itu, Sturman sepakat dengan sikap PDIP yang menolak kembali pembukaan ekspor pasir laut ke Singapura, karena memfasilitasi Singapura melakukan penambahan wilayah ke Indonesia, dan menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

"Ketika kita bicara tentang organisasi, kita harus taat kepada organisasi. Apakah kata fraksi, apa kata partai, kalau PDIP menolak, kita pasti menolaklak. Tidak mungkin PDIP menolak, saya tidak menolak. Itu tidak boleh, dan saya katakan ekspor pasir laut tidak boleh dipaksakan," tegas politisi PDIP ini.

Sejarah Ekspor Pasir Laut

Mengutip dari berbagai sumber sejarah ekspor pasir laut Indonesia yang pertama dibuka pada dekade 1970an di masa pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto untuk memenuhi kebutuhan Singapura.

Kemudian pemerintahan Presiden ke-5 RI, Megawati menghentikannya pada 2002 lalu karena dinilai merusak lingkungan.

Mulanya, Megawati menetapkan larangan untuk mengekspor pasir laut pada tahun 2002 guna mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut yang disebabkan oleh pengerukan pasir laut berlebih, sehingga berpotensi memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Lahir Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menperindag, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup (Nomor 89/MPP/Kep/2002, SKB.07/MEN/2002, dan 01/MENLH/2/2002) yang diteken pada 14 Januari 2002.

Tiga menteri kala itu yakni Menperindag Rini S Soemarno, Menteri KP Rokhmin Dahuri, dan MenLH Nabiel Makarim menyatakan SKB soal penghentian ekspor sementara pasir laut itu berlaku mulai 18 Januari 2002.

Lalu Megawati meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, dirinya membatasi ekspor pasir laut. Keppres itu diteken pada 23 Mei 2002.

Pasal 8 ayat (2) Keppres tersebut menyatakan, "Pasir laut yang ditetapkan sebagai komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang ekspornya setelah mempertimbangkan usulan dari Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut."

Kemudian muncul Surat Keputusan (SK) Menteri Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 yang berisi penghentian ekspor pasir laut.

Larangan ini sempat ditegaskan kembali di masa kepemimpinan Presiden ke-6 RI, SBY, pada 2007 silam sebagai bentuk perlawanan aktivitas pengiriman pasir ilegal ke Singapura. Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang salah satu aturannya adalah larangan penambangan pasir.

Urgensi pelarangan ekspor pasir laut tak hanya karena memperburuk ekosistem pesisir dan laut. Pada 2007 silam, Freddy Numberi yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) era SBY kala itu menyatakan Pulau Nipah dan Sebatik di wilayah Batam pun hampir tenggelam karena abrasi dari aktivitas pengerukan pasir. Mengutip dari Antara, Dirinya menegaskan bahwa aktivitas ekspor pasir laut merugikan.

Pun demikian diungkap Menlu kabinet SBY pada 2007 silam, Hassan Wirajuda.

"Pelarangan ekspor pasir juga lebih banyak pada keprihatinan kita pada kerusakan lingkungan ... itu sepenuhnya hak negara berdaulat, tidak perlu dikait-kaitkan dengan perbatasan," kata Hassan yang dikutip dari artikel di Antara terbit 12 Maret 2007.

Kebijakan itu diubah oleh Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023, sehingga kini keran ekspor dibuka lagi, serta ditambah aturan pelaksana dua peraturan menteri perdagangan (Permendag) sebagai produk hukum turunan PP Jokowi.

PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut itu disahkan Jokowi pada 15 Mei 2023. PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Materi UU Kelautan itu sebagian ada yang berubah lewat UU Ciptaker yang menjadi omnibus law.

PP 26/2023 tersebut dinilai menjadi ruang untuk membuka kembali keran ekspor pasir laut dengan dalih untuk mengendalikan hasil sedimentasi di laut. Lahirnya PP 26/2024 itu mencabut Keppres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.

Pasal 1 ayat (2) PP 26 Tahun 2023 tertulis, "Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut adalah upaya terintegrasi yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sedimentasi di Laut."

Kemudian pada Pasal 9 ayat (2) PP tersebut, aktivitas ekspor dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan disesuaikan dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan.

Hal ini diamini pula oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim. Menurutnya, pengaturan dilakukan guna menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir dan laut, serta kesehatan laut.

Menindaklanjuti PP tersebut kemudian terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Dan, kemudian ekspor pasir laut atau 'hasil sedimentasi di laut' itu dibuka lewat aturan turunan pada dua permendag: Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara tentang revisi Permendag yang mengatur ekspor pasir laut. Jokowi menegaskan bukan pasir laut yang diekspor, melainkan sedimen yang mengganggu jalannya kapal.

"Sekali lagi itu bukan pasir laut ya, yang dibuka itu adalah sedimen, sedimen. Yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi, bukan (pasir laut)," kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9/2024).

Jokowi menekankan bedanya pasir dengan sedimen. Ia mengatakan yang diekspor ialah sedimen berwujud pasir. "Kalau diterjemahkan pasir, beda loh ya. Sedimen itu beda. Meski wujudnya juga pasir. Tapi sedimen," ujarnya.

Sementara keputusan pemerintah membuka ekspor pasir laut ditandai dengan revisi dua peraturan Menteri Perdagangan (permendag).

Pertama, revisi Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan kedua Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

"Revisi dua permendag ini merupakan amanah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta merupakan usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai instansi pembina atas pengelolaan hasil sedimentasi di laut," ungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim, dalam keterangannya, Senin (9/9/2024).

Isy menekankan ekspor pasir laut hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kebutuhan dalam negeri.

"Ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat ditetapkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," lanjutnya.

Editor: Surya