Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pembahasan RUU PPRT Mandek Selama 20 Tahun, Panja Salahkan Ketua DPR
Oleh : Irawan
Rabu | 31-07-2024 | 09:44 WIB
forleg_pprt.jpg Honda-Batam
Diskusi Forum Legislasi dengan tema 'RUU PPRT Sebagai Upaya Melindungi Pekerja Rumah Tangga' di Ruang Pusat Penyiaran dan Informasi Parlemen (PPIP), Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2024)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT Willy Aditya dari Fraksi Partai Nasdem menyebut mandeknya pembahasan RUU PPRT terkendala oleh Ketua DPR Puan Maharani hingga empat periode atau sekitar 20 tahun.

"Kendalanya di Ketua DPR. Ketua DPR-nya nggak mau bahas-bahas di paripurna," ungkap Willy Aditya dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema 'RUU PPRT Sebagai Upaya Melindungi Pekerja Rumah Tangga' di Ruang Pusat Penyiaran dan Informasi Parlemen (PPIP), Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2024).

Soal alasannya, Willy mengaku tidak tau pasti, mengapa Puan sekarang enggan membahas RUU PPRT tersebut, padahal RUU PPRT merupakan usulan dari Fraksi PDIP.

"Ditanyakan aja kepada Ketua DPR. Teman-teman bisa tanya ke PDI Perjuangan," sambungnya.

Namun yang pasti, Willy menjelaskan ada perbedaan pandangan dalam menyikapi status pekerja rumah tangga.

Sejak diajukan dan disusun sejak 20 tahun lalu, mulai periode masa keanggotaan DPR 2004-2009 sampai periode 2019-2024, RUU PPRT telah mengalami beberapa kali perubahan judul.

Penamaan istilah pekerja rumah tanggal menjadi salah stau titik krusial perbedaannya. Menurut Willy, di periode keanggotaan DPR RI 2019-2024 saat ini, RUU ini dinamakan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

"Tidak pakai istilah pembantu, tidak pakai istilah asisten," sebut Politisi Partai NasDem ini.

Jika merujuk UU Nomor 13 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan, hanya menyebut pekerja sebagai orang yang bekerja di sektor barang dan jasa. UU Ketenagakerjaan tidak mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja.

"Hanya menyebut pekerja sebagai orang yang bekerja di sektor barang dan jasa. Mereka yang bekerja di sektor domestik atau pekerja rumah tangga, pekerja sosial. Itu tidak diakui sebagai pekerja," terang Willy.

Dampaknya, kata Willy, pekerja rumah tangga tidak mendapat jaminan perlindungan oleh UU. Padahal, pekerja rumah tangga juga pekerja yang harusnya mendapat hak dan kewajiban sama sebagai warga negara.

"Pertama yang ingin kita atur adalah bagaimana ada perlindungan. Karena apa? Sejauh ini karena mereka tidak pernah diakui sebagai status pekerja. Dan itu ada di dalam ruang-ruang yang masih dianggap baik. Karena rumah tangga kemudian kita mencoba masuk dengan narasi perlindungan," ujar Willy.

Dengan demikian, ia berharap ada standing point berupa perlindungan kepada pekerja rumah tangga yang memang rentan mengalami diskriminasi.

Kedua, sambung dia, adanya kecenderungan pekerja rumah tangga mengalami kekerasan, eksploitasi.

Diakui Willy, karena memang pekerja rumah tangga selama ini umumnya tidak diwadahi oleh badan hukum. Oleh karena itu, ke depan RUU ini menekankan pada perizinan yang izinnya akan dikeluarkan di tingkat kabupaten/kota.

Sementara itu Praktisi Media Mokhamad Munib berharap Ketua DPR RI Maharani segera memberikan izin atau keluarrkan surores RUU PPRT tersebut ke Panja RUU PPRT untuk segera dibahas.

Mengingat pentingnya RUU ini dalam melindungi dan memjamin kelangsungan PPRT khususnya di luar negeri.

"Terlebih mereka ini telah memberikan sumbangan untuk devisa negara di tahun 2023 saja mencapai Rp231,6 trilium. Sumbangan terbesar kedua setelah Migas," ungkapnya.

Dikatakan, jumlah PPRT atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) dalam catatan Word Bank pada 2023 mencapai 9 juta WNI yang bekerja di luar negeri. Tapi, data Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) terdapat 4,6 juta orang.

Mereka ini, kata Munib, tersebar di Taiwan, Malaysia, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Italia, Brunei Darussalam, Turki dan lain-lain.

"Jadi, kenapa RUU yang diusulkan sejak 2004 itu sampai kini tidak juga dibahas dan disahkan? Maka, Ketua DPR RI yang tahu pasti jawabannya," pungkasnya.

Editor: Surya