Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Demokratisasi Politik Tak Sejalan dengan Pertumbuhan Ekonomi
Oleh : si
Senin | 15-10-2012 | 18:32 WIB
Irman_Gusman.jpg Honda-Batam

Irman Gusman

JAKARTA, batamtoday - Masalah pertumbuhan ekonomi berkeadilan dan berkelanjutan yang sejak lama diwacanakan ternyata masih menjadi masalah besar yang sampai sejauh ini masih dirasakan rakyat.



Demokratisasi politik ternyata belum sejalan dengan demokratisasi ekonomi. Di satu sisi, demokratisasi memberi kebebasan politik, menjamin persamaan warga negara di depan hukum, menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan pers. Tapi, di sisi lain, demokratisasi politik belum sejalan dengan demokratisasi ekonomi

Demikian ditegaskan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman, dalam sambutannya pada seminar nasional  “Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan”, di  Jakarta pada Senin, (15/10/2012).

"Sejak era reformasi, persoalan pertumbuhan yang berkeadilan dan berkelanjutan masih menjadi masalah besar yang sejauh ini dirasakan oleh rakyat. Di satu sisi, demokratisasi memberi kebebasan politik, menjamin persamaan warga negara di depan hukum, menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan pers. Namun di sisi lain, demokratisasi politik belum sejalan dengan demokratisasi ekonomi," tegasnya.

Menurut Irman, dilihat secara makro pembangunan ekonomi Indonesia memang menunjukkan kemajuan yang pesat, dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6%. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah pertumbuhan ini menggambarkan pembangunan yang sesungguhnya dan apakah juga sudah sesuai dengan harapan kita.

Ditegaskannya, orientasi pada pertumbuhan makro ternyata belum menjamin terwujudnya keadilan dan pemerataan. Rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi berujung pada membengkaknya jurang antara kaya dan miskin yang semakin membesar. Persoalan ini belakangan ini menjadi semakin kasat mata dalam kehidupan sehari-hari rakyat pada umumnya. 

"Begitu juga secara kewilayahan telah terjadi kesenjangan. Sebagai contoh, saat ini, 80 persen industri nasional berlokasi di Pulau Jawa. Sementara sebagian besar lahan penghasil energi listrik dan energi panas bagi industri-industri tersebut didatangkan dari luar Pulau Jawa," katanya. 

Karena itu, Irman menenggarai, sekarang ada kecenderungan menyimpangnya kebijakan pertumbuhan dari spirit konstitusi. Hal ini merupakan akibat dari serbuan ideology neoliberal yangl tidak bias dihindari. Sebab peranan Negara dalam neoloberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar.

"Akibatnya, negara dengan kekayaan alam yang besar tapi tidak memiliki kemandirian ekonomi," tuturnya, sambil menambahkan bahwa negara telah terjajah secara ideologi, kesenjangan dan ketimpangan melebar sedemikian rupa. Lebih jauh lagi, ketidakadilan antara yang kaya dan yang miskin kian mencuat. Begitu juga ketidakadilan antara Timur dan Barat, antara sektor modern dan tradisional, termasuk juga antara kota dan desa. 

Mengutip ekonom terkenal Richard Auty dan Jeffry Sachs, Irman menyatakan kekuatirannya terhadap perkembangan yang terjadi di Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan sumber daya alam yang melimpah, tetapi keberlimpahan itu sama sekali tidak dirasakan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

"Inilah yang disebut dengan the Paradox of Plenty, atau kutukan sumber daya alam,’’ kata Irman , sambil menambahkan, "Dan Indonesia berpotensi menjadi kutukan sumber daya alam, jika kekayaan alam yang kita miliki tidak dikelola dengan baik untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.’’

Paradox
Irman juga mengkhawatirkan perkembangan yang terjadi belakangan ini dalam pembangunan ekonomi, yang membuat Indonesia ini berubah menjadi sebuah negara jajahan dalam bentuk baru. Dijelaskannya, Bung Karno dalam sebuah tulisannya pada 1930 telah mengingatkan kita agar jangan terperosok ke dalam jurang sebagai negara jajahan.

Waktu itu Bung Karno menyebutkan cirri-ciri negara jajahan. Pertama, negara tersebut dijadikan sebagai sumber bahan baku murah oleh negara-negara industri. Kedua, dijadikan sebagai pasar untuk menjual produk-produk hasil industri negara penjajah. Ketiga, dijadikan tempat memutarkan kelebihan kapital mereka, demi mendapatkan rente.

"Sepertinya, ungkapan Bung Karno 90 tahun lalu itu, setelah 67 tahun kita merdeka, telah menggambarkan sebuah paradox,’" katanya, sambil menjabarkan bahwa sampai sekarang kekayaan alam kita masih dijual murah kepada bangsa asing, bahan baku mentah yang dihasilkan bumi Indonesia masih terus mengalir ke luar negeri, untuk memasok kebutuhan industri negara lain yang lebih maju.

Persoalannya, menurut Irman, bangsa kita hingga kini masih dikenal sebagai konsumen terbesar produk-produk industri, elektronik dan barang teknologi dari negara-negara industri besar. Negara kita adalah konsumen handphone terbesar ketiga dan salah satu pasar mobil dan sepeda motor terbesar di dunia.

"Lalu, lebih dari 50 persen perbankan di negara kita dikuasai oleh pemodal asing, karena Indonesia masih dianggap sebagai tujuan investasi uang terbaik di dunia, karena tingkat suku bunga yang jauh lebih tinggi dibanding negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Eropa dan Singapura," paparnya, sambil menjelaskan, dengan memutarkan kelebihan kapital mereka di negara kita, pemilik modal dari luar negeri mendapatkan keuntungan yang sangat besar.

Dikatakan, paradoks yang terjadi di Indonesia bukan hanya itu. Sebab masih banyak paradok lain yang menjadi kondisi objektif negara kita. Di antaranya, daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah justru menjadi tempat di mana penduduk miskin lebih banyak jumlahnya.