Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

SBY Sebaiknya Temui Warga Korban Gusuran, bukan Resmikan Kawasan Wisata Mewah Lagoi
Oleh : Dodo
Rabu | 23-02-2011 | 16:10 WIB

Batam, batamtoday - Rencana kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Kabupaten Bintan pada Jumat 25 Februari 2011 untuk meresmikan kawasan wisata mewah pantai Lagoi, sebaiknya agendanya dialihkan untuk menemui warga yang menjadi korban akibat pembagunan kawasan wisata tersebut.

Demikian dikatakan Anggota Komnas HAM Ridha Saleh kepada wartawan di Hotel Panorama Residence, Batam,Rabu 23 Februari 2011, seusai melakukan dialog dengan warga Bintan yang menjadi korban pembebasan tanah oleh PT Buana Mega Wisatama (BMW) selaku pengembang kawasan wisata mewah tersebut.

"Sebaiknya SBY mendatangi warga yang menjadi korban, dan bukan malah meresmikan kawasan wisata mewah tersebut," tandas Ridha.

Meski Ridha belum berani menyatakan ada pelanggaran HAM dalam proses pembebasan tanah seluas 23.000 HA tersebut, namun dia sudah berani menyimpulkan, bahwa memang terjadi tindakan represif pada proses pembebasan yang terjadi pada tahun 1991, pada masa rejim Suharto masih berkuasa.

"Memang ada upaya represif dalam prosesnya (pembebasan lahan warga, red)," tegas Ridha.

"Jadi sebaiknya, Presiden SBY mendatangi warga. Karena disitu ada persoalan HAM yang masih belum terselesaikan, kalau Presiden meresmikan, maka situasinya bisa berkembang jadi tidak kondusif," tandas Ridha.

Seperti diberitakan sebelumnya, puluhan warga yang mewakili ribuan KK di 10 desa dan 3 kecamatan korban gusuran kawasan wisata pantai Lagoi, Rabu 23 Februari 2011 mengadu kepada Komnas HAM dalam pertemuan di Hotel Panorama Regency, Batam.

Warga kepada anggota Komnas HAM Ridha Saleh, meminta agar Komnas HAM memperjuangkan keadilan buat mereka, karena tanah mereka telah dinikmati pengusaha mewah tersebut hanya dengan harga Rp100/M2.

Korban gusuran kawasan wisata mewah Lagoi, yang kini bergabung dalam Yayasan Tragedi Lagoi (YTL), kepada Komnas HAM menceritakan proses pembebasan yang penuh kekerasan dan pemaksaan, sehingga warga dengan terpaksa melepas tanah mereka dengan harga super murah yakni Rp 100/M2.