Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pidato Presiden SBY Bentuk Ketakutan Masuk Jeratan Century Gate
Oleh : redaksi/opini
Sabtu | 18-08-2012 | 13:29 WIB

Oleh : Supriadi Purba


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tak bisa lagi membantah keterlibatannya dalam kasus dana talangan (bailout) Bank Century setelah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar mengungkapnya ke publik. Pernyataan tersebut disampaikan mantan Anggota DPR RI, M Misbakhun di Jakarta. Misbakhun sempat diajukan ke pengadilan, namun divonis bebas oleh Mahkamah Agung (MA) karena tidak terbukti memalsukan dokumen dalam kasus Bank Century.


"Statement Antasari tersebut membuka kebohongan Presiden SBY dalam pidato 4 Maret 2010, dalam menanggapi hasil Opsi C Pansus Century DPR. Perihal tidak pernah ada rapat yang melibatkan dirinya dalam hal membahas bailout," tegasnya (waspada.com)

Setelah mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar mengeluarkan testemoninya soal Presiden SBY membuka rapat bailout Bank Century tahun 2008. Muncul kekhawatiran dari berbagai pihak yang merasa terganggu atas testemoni yang telah berhasil membangun opini publik, apalagi nama besar Presiden SBY tersandung kasus tersebut. Akhirnya akibat testemoni tersebut, media menyudutkan SBY dan menarik benang merah bahwa testemoni Antasari sebagai jalan mengungkap kebenaran kasus Bank Century.

Presiden SBY tidak bisa menahan rasa yang telah dialaminya akibat pemberitaan media terus menerus. Akhirnya presiden memberikan keterangan melalui pidato kaitan dengan klarifikasi pernyataan Antasasi yang telah melibatkan namanya. Pernyataan SBY yang disampaikannya di hadapan para menteri dan di hadapan media, mengindikasikan bahwa SBY mengalami sebuah gejolak besar. Akibatnya secepat kilap dia langsung mengambil langkah klarifikasi sebagai pijakan atas pembenaran terhadap kasus tersebut.

Pertanyaanya adalah, apakah kaitan yang disampaikan SBY soal Antasari adalah benar bahwa dia meluruskan dengan bahasa, "Memang ada pertemuan pada awal Oktober 2008. Tapi menurutnya, dalam pertemuan itu tak sedikit pun membahas soal krisis Bank Century, apalagi sampai proses bailout. "Malam ini di hadapan Allah SWT, saya katakan bahwasannya saya katakan sama sekali tidak ada tidak menyinggung Bank Century apalagi bailout Bank Century," tambahnya.

Akibat bahasa yang disampaikan oleh SBY sebagai klarifikasi, akhirnya banyak tanggapan dari berbagai macam pihak. Bambang Soesatyo mengatakan, "Kalau sekarang SBY merasa penting untuk menanggapi testimoni Antasari, menurut saya justru makin membuat publik tambah yakin, bahwa kekuasaan terlibat dalam rangkaian peristiwa, mulai dari perencanaan, penyusunan peraturan dan UU sebagai bungkus agar kebijakan tersebut seolah didasari aturan dan perundang-undangan." 

Yang lucunya lagi adalah pidato SBY sampai mengeluarkan kata "sumpah", sebuah pernyataan yang terburu-buru. "Saya katakan malam ini di hadapan Allah SWT bahwa sama sekali tidak ada. Tidak ada yang menyinggung Bank Century, apalagi membahas yang dinamakan bail out Bank Century,” kata SBY, yang mengenakan kemeja orange cerah, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/8). Bahkan untuk meyakinkan masyarakat, SBY mengatakan ada bukti dokumentasi video, foto dan transkrip lengkap atas pembahasan yang terjadi di dalam pertemuan (Berita Satu, Rabu, 15 Agustus 2012).

Sejatinya, dengan adanya pernyataan demikian maka publik akan semakin menilai negatif soal Presiden SBY. Publik akan melihat ruang keterlibatan SBY dalam kasus Century akan menempatkan Partai Demokrat sebagai partai para koruptor di mana mulai dari pimpinan tertinggi bahkan dewan Pembina partai telah melakukan pemerkosaan terhadap bangsa dan negara.

SBY Kebakaran Jenggot

Sebagai masyarakat sipil yang merasa memiliki kepedulian terhadap bangsa dan negara ini. Penulis melihat bahwa sangat tidak terhormat seorang Presiden terlalu cepat menanggapi persoalan kasus Century kaitan dengan pernyataan Antasari. Apalagi sampai mengklarifikasi sebagai bentuk pernyataan sikap,  sementara banyak kasus kaitan dengan persoalan bangsa yang lebih urgent sampai hari ini tidak pernah ditanggapi dengan serius. Tidak pernah melakukan klarifikasi dan bahkan dalam setiap pidato kenegaraannya,kaitan dengan isu itu sangat minim dan jarang disisipkan. 

Lihat kasus pelanggaran HAM masa lalu yang korban dan keluarganya telah lama menuntut kebenaran sambil menunggu respon negara. Bermandikan panas matahari setiap hari Kamis di Istana Negara, tetapi respon negara nihil akibat besarnya keterlibatan negara dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kasus GKI Yasmin dan kasus intoleransi lainnya, SBY juga diam dan hatinya tidak pernah tersentuh walaupun ratusan orang beribadah di Istana Negara sebagai bagian dari gerakan mengguncang hati Presiden agar bicara dan menyelesaikan setiap kasus intoleransi. 

Dua kasus di atas tentu bukan kasus biasa, kasus yang sudah masuk ranah dunia internasional. Dimana, perbincangan soal kasus pelanggaran HAM masa lalu dan kasus intoleransi sudah sampai ke ranah perbincangan antar negara, sebut saja pada pertemuan di Jenewa, Swiss kaitan dengan sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB yang mencerca Indonesia sebagai negara yang membiarkan setiap kasus intoleransi, termasuk di dalamnya kepolisian. 

Pertanyaanya adalah, kenapa Pemerintah SBY diam dan merasa enggan untuk mengklarifikasi langsung. Bukankah persoalan pelanggaran HAM dan kasus intoleransi juga adalah masalah besar republik ini, tidakkah Presiden SBY tahu bahwa ada yang dirugikan dalam kasus ini? Inilah bentuk kehilangan akal sehat seorang pemimpin di republik ini, respon kaitan dengan pernyataan Antasari yang mengatakan SBY terlibat dalam bail out Century yang langsung ditanggapi adalah bentuk ketakutan atau malah klarifikasi yang sifatnya melawan pernyataan Antasari sendiri.  

Andai dua peristiwa yang disebutkan di atas juga secara langsung direspon oleh Presiden, maka tidak akan adalagi tangisan korban dan derita para keluarga yang menuntut keadilan bagi negara. Ini yang seharusnya diketahui oleh Presiden, bukan malah tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum. Sudah seharusnya Presiden terlibat aktif dalam mengurus setiap peristiwa yang terjadi kaitan dengan diskriminasi, kaitan dengan ketidakadilan serta  penegakan Hukum yang belum berpihak terhadap masyarakat. 

Penulis adalah Koordinator Solidarity For Human Rights (SA-HAM) dan bekerja di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara