Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

SPR Sayangkan Pernyataan Kabareskrim Soal Kasus Simulator SIM
Oleh : surya
Jum'at | 03-08-2012 | 18:07 WIB
habiburokhman-1.gif Honda-Batam
Foto: Net

JAKARTA, batamtoday - Juru Bicara Serikat Pengacara Rakyat (SPR), Habiburokhman SH, menilai pernyataan Kabereskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Polisi Sutarman, Jumat (3/8/2012) siang tadi, yang bersikukuh untuk menyidik kasus dugaan korupsi Simulator SIM sebelum ada hukum acara yang mengatur secara detail ketentuan pasal 50 UU Nomor 30 Tahun 2002, dan bahkan telah menetapkan tersangka yang sama dengan KPK, patut disayangkan.


Menurut Habib, begitu dia akrab disapa, pernyataan tersebut tidak tepat karena rumusan Pasal 50 UU Nomor 30 Tahun 2002 sudah sangat jelas dan tidak multi interpretative. Selain itu juga, tidak sedikitpun diatur dalam pasal tersebut bahwa akan ada hukum acara atau pengaturan lebih lanjut mengenai pengalihan kewenangan penyidikan ke KPK jika KPK sudah melakukan penyidikan.

"Jadi, sebenarnya Polri tidak punya pilihan lain selian mematuhi ketentuan Pasal 50 UU Nomor 30 Tahun 2012 tersebut yaitu menghentikan penyidikan dan membiarkan KPK untuk terus melakukan penyidikan. Pasal 50 jelas merupakan hukum positip yang mempunyai kekuatan mengikat dan wajib dipatuhi," ujar Habiburokhman dalam rilisnya kepada batamtoday, Jumat (3/8/2012).

Dari aspek praktik penegakan hukum, katanya, patut dipertanyakan apakah tidak mubazir melakukan penyidikan terhadap suatu perkara yang jelas-jelas sudah disidik oleh institusi penegak hukum lain. "Apakah Polri merasa "kekurangan" kasus untuk disidik?" ujarnya lagi.

Setidaknya, ia menambahkan, ada dua masalah paling serius yang akan timbul akibat "penyidikan ganda" ini . Pertama, terancam hilangnya kepastian hukum dalam perkara tersebut, sebab dua institusi yang sama-sama melakukan penyidikan bisa saja menghasilkan output yang berbeda. Penyidikan dijalankan berdasarkan alat bukti, dan justru sejak awal soal pengumpulan alat bukti dalam perkara ini sudah bermasalah.

Permasalahan kedua adalah, akan timbul keruwetan administrasi, sebab menjadi tidak jelas bagi si tersangka akan diregistrasi dengan berkas penyidikan dan penuntutan yang mana ketika kelak berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor. Tidak tertutup kemungkinan si tersangka akan disidang dalam dua perkara terpisah dengan substansi permasalahan yang sama.

"Apa yang terjadi dalam perkara dugaan korupsi simulator SIM ini adalah potret semrawutnya pengaturan penyidikan tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana kita akibat tumpang tindihnya wewenang antar instansi penegak hukum," ujarnya.

"Meskipun ada ketentuan Pasal 50 UU 30 tahun 2002 yang memposisikan KPK sebagai lembaga supervisi bagi penegak hukum lain, akan tetapi wewenang penyidikan tersebut masih melekat pada institusi Polri, dan itu memang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," tambahnya.

Pimpinan KPK periode sebelumnya juga pernah mengeluhkan sulitnya menegakkan ketentuan Pasal 50 tersebut dalam praktek di lapangan. Permasalahan kewenangan penyidikan ini telah sering terjadi dan akan terus terjadi di masa yang akan datang.

"Kami menganggap, satu-satunya solusi untuk mengakhiri permasalahan sengketa penyidikan, sebagaimana terjadi dalam kasus dugaan simulator SIM ini adalah pembatasan wewenang penyidikan Polri hanya pada tindak pidana umum," katanya.

Untuk tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, idealnya diserahkan hanya kepada KPK dan Kejaksaan, tindak pidana terorisme diserahkan pada TNI, tindak pidana Kehutanan diserahkan pada penyidik pegawai negeri sipil kehutanan, dan seterusnya. 

"Dengan begitu, tidak mungkin lagi terjadi sengketa kewengan penyidikan antara instansi penegak hukum, karena ranah penyidikan masing-masing sudah berbeda," imbuhnya.

Pembatasan ruang lingkup penyidikan Polri ini, menurutnya, akan sekaligus dapat menjawab permasalahan klasik yang sering dikeluhkan oleh pejabat Polri yakni tugas yang begitu banyak dan sumber daya yang begitu terbatas.