Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

PRP Nilai Krisis Pangan Akibat Kebijakan Rezim Neoliberal
Oleh : redaksi/dodo
Kamis | 26-07-2012 | 10:07 WIB

JAKARTA, batamtoday - Salam rakyat pekerja! Pada saat ini, hampir sebagian besar perajin tahu-tempe melakukan aksi mogok produksi, yang direncanakan hingga tanggal 27 Juli 2012. Aksi mogok produksi ini dilatarbelakangi ketidakmampuan rezim neoliberal untuk menahan laju kenaikan harga kedelai selama beberapa minggu terakhir ini.


"Para perajin tahu-tempe tersebut merasa tercekik dengan kenaikan harga dari sebelumnya Rp 5.000 menjadi Rp 8.000 per kilogram, atau sebesar 35-40 persen dari harga sebelumnya. Mogoknya para perajin tahu-tempe ini jelas berdampak pada kelangkaan tahu-tempe di pasar-pasar," ujar Ketua Nasional  dan Sekretaris Jenderal Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Anwar Ma'ruf dan Rendro Prayogo dalam rilisnya kepada batamtoday, Kamis (26/7/2012).  

Naiknya harga kedelai tersebut, diakibatkan musim kering di Amerika Serikat, yang merupakan produsen utama dunia untuk kedelai. Ketergantungan terhadap kedelai impor dari AS tersebut dikarenakan untuk menutupi kebutuhan kedelai secara nasional sebesar 2,4 juta ton/tahun, produk nasional di Indonesia hanya mampu memenuhi 600.000 ton/tahun. Sementara kekurangannya, Indonesia harus mengimpor kedelai sebesar 1,8 juta ton/tahun dari AS.

Kebijakan impor pangan ini, lanjutnya, bukan hanya terjadi di kedelai saja. Ketergantungan terhadap kebutuhan pangan yang diimpor dari luar negeri, ternyata sudah sangat lama diterapkan oleh rezim neoliberal di Indonesia. Pada tahun 2001 saja, data impor bahan pangan, yaitu gandum mencapai 3,5 juta ton, jagung 1,2 juta ton, beras 2 juta ton, kedelai 1,2 juta ton, gula pasir 1,7 juta ton, yang keseluruhan devisa menghabiskan Rp 16,62 triliun. Ditambah lagi impor buah-buahan sebanyak Rp 900 miliar (Kompas, 16 Oktober 2001).

Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS), selama bulan Januari-Juni 2011, impor pangan Indonesia mencapai 11,33 juta ton dengan nilai US$ 5,36 miliar atau kurang lebih Rp 45 triliun. Komoditas impor bervariasi mulai dari beras, jagung, terigu, gula garam, telur, ayam, daging sapi, singkong, bawang merah, cabai hingga buah-buahan. Sedangkan data impor pangan selama Januari-Maret 2012 dari Pelindo II cabang Tanjung Priok menunjukkan impor beras sebanyak 330.539 ton, jagung 33.700 ton, tapioka 7.422 ton, gandum 546.932 ton dan garam 25.400 ton.

"Sangat ironis memang, mengingat Indonesia yang selalu disebut sebagai negara agraris, pada kenyataannya untuk memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya harus bergantung pada negara-negara lain. Namun ketergantungan pangan dari luar negeri ini sebenarnya merupakan hasil kesepakatan antara rezim neoliberal dengan organisasi-organisasi neoliberal di dunia," sebutnya.

Ditambahkan, impor pangan terus meningkat sejak Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization's/WTO) dan menerapkan liberalisasi ekonomi atau perdagangan bebas melalui Agreement on Agriculture (AoA). Indonesia kemudian semakin terbuka setelah Soeharto menandatangani Letter of Intent dengan Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) dan Structural Adjustment Program (SAP) dengan Bank Dunia pada tahun 1997.

"Belum lagi berbagai Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA), baik secara regional maupun bilateral, yang akhirnya menghancurkan produk pangan di Indonesia, terlebih lagi kehidupan para petaninya. Sebagai contoh, Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang diberlakukan awal tahun 2010 telah menyebabkan serbuan kentang impor dari Cina di sentra produksi kentang di Jawa Barat dan Jawa Tengah mulai September 2011. Sebagai akibatnya, ribuan keluarga petani mengalami kerugian ratusan juta rupiah karena merosotnya harga kentang para petani oleh serbuan kentang impor," terangnya.

Fakta yang lainnya, katanya, adalah negara dan rakyat Indonesia saat ini sudah tidak memiliki kedaulatan pangan, karena kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi di sektor pangan telah diserahkan ke mekanisme pasar yang dikuasai oleh para pemilik modal raksasa. Sebut saja seperti Badan Urusan Logistik (BULOG) yang telah dijadikan privat dan industri hilir pangan hingga distribusinya (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. 

"Rakyat Indonesia hanya dijadikan sebagai para pekerja di sektor pangan atau sekedar konsumen saja," ujarnya.

Berlanjutnya kebijakan impor pangan ini menunjukkan bahwa rezim neoliberal yang berkuasa di Indonesia, memang tidak pernah memiliki keberpihakan terhadap rakyat Indonesia. Keberpihakan rezim neoliberal jelas kepada lembaga-lembaga neoliberal di dunia serta para pemilik modal yang mengeruk keuntungan akibat kebijakan impor pangan tersebut.

Anwar Ma'ruf dan Rendro Prayogo menilai, krisis pangan yang dialami oleh rakyat pekerja di Indonesia, pada kenyataannya merupakan hasil kesepakatan dengan institusi neoliberal di dunia dan kebijakan dari rezim neoliberal di Indonesia.

"Untuk itu, rakyat pekerja di Indonesia penting untuk menggalang mosi tidak percaya terhadap rezim neoliberal yang berkuasa saat ini, karena telah menghancurkan dan memiskinkan kehidupan seluruh rakyat pekerja di Indonesia," ujarnya.

Pihaknya juga meminta rakyat pekerja membangun persatuan seluruh kekuatan gerakan rakyat Indonesia untuk membangun kekuatan politik alternatif guna menumbangkan kekuatan rezim neoliberal di Indonesia serta menghancurkan sistem neoliberalisme.

"Kapitalisme-neoliberal telah gagal untuk mensejahterakan rakyat, dan hanya dengan sosialismelah maka rakyat akan sejahtera," ungkapnya.