Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

AS Soroti Kasus Penembakan Enam Laskar FPI di KM 50 dan Korupsi
Oleh : Redaksi
Senin | 18-04-2022 | 12:20 WIB
A-TEMBAK-laskar-fpi.jpg Honda-Batam
Rekonstruksi tewasnya enam laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta Cikampek, Karawang, Jawa Barat. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Melalui rilis praktik Hak Asasi Manusia, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyoroti sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Kasus tewasnya enam laskar FPI di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek beberapa waktu lalu termasuk salah satu yang disorot. Amerika menyebut hal ini merupakan perampasan nyawa secara sewenang-wenang dan pembunuhan melawan hukum atau bermotif politik.

Dilihat dari 2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia yang dilihat dari situs Deplu AS, Sabtu (16/4). AS membahas soal unlawful killing yang terjadi.

Laporan itu menyatakan banyak kasus dugaan pembunuhan di luar proses hukum yang tak diusut oleh aparat. Jika dilakukan penyelidikan pun, menurut AS, maka ujungnya akan gagal mengungkap fakta yang sebenarnya.

Laporan HAM AS ini mengutip laporan KontraS yang menyebut ada 16 kematian diduga karena penganiayaan oleh aparat keamanan antara Juni 2020 sampai Mei 2021. Laporan AS ini juga mengutip pernyataan Komnas HAM soal kasus penembakan laskar FPI.

"KontraS juga melaporkan 13 kematian diduga akibat penembakan polisi pada periode yang sama. Pada 8 Januari, Komnas HAM merilis laporannya tentang penembakan polisi pada Desember 2020 terhadap enam anggota Front Pembela Islam di jalan tol Jakarta-Cikampek di Provinsi Jawa Barat. Komisi menemukan bahwa polisi secara tidak sah membunuh empat anggota (laskar FPI, duduk di) depan yang sudah berada dalam tahanan polisi dan menyebut pembunuhan itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia," tulis laporan itu.

Lanjutan laporan itu, pada bulan April seorang juru bicara polisi menyatakan bahwa tiga petugas polisi dari Polda Metro Jaya telah ditetapkan sebagai tersangka dan sedang diselidiki, mencatat bahwa satu dari tiga telah meninggal dalam kecelakaan pada bulan Januari. Pada 23 Agustus, media melaporkan pengajuan tuntutan terhadap kedua tersangka di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

AS Juga Soroti Pelanggaran HAM Lain di Indonesia

Sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia menjadi sorotan serius pemerintah Amerika Serikat.

Dalam laporan pelanggaran HAM Indonesia yang dipaparkan di situs resmi Kedutaan Besar AS di Indonesia, ada tujuh point yang menjadi perhatian mereka.

Disebutkan bahwa Indonesia melanggar poin-poin yang mencakup; tidak menghormati integritas individu, tidak menghormati kebebasan sipil, tidak ada kebebasan untuk berpartisipasi dalam proses politik, kurangnya transparansi dalam kasus korupsi, intimidasi terhadap LSM, definisi soal pemerkosaan yang memberatkan pihak perempuan, dan rendahnya hak pekerja untuk berunding bersama.

Dalam point tidak menghormati integritas individu, laporan AS menyebutkan bahwa undang-undang Indonesia mengkriminalisasi penggunaan kekerasan atau paksaan oleh pejabat keamanan untuk memperoleh pengakuan, sementara sejauh ini tidak ada undang-undang yang menentukan atau mendefinisikan 'penyiksaan' yang dimaksud.

Para pejabat menghadapi hukuman penjara maksimal empat tahun jika mereka menggunakan kekerasan atau paksaan secara ilegal, namun pada kenyataannya ada banyak kasus kekerasan yang dibuat pejabat dan menguap begitu saja.

Misalnya pada kasus Samsul Egar. Pada 25 April, Polres Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara menangkap Samsul Egar atas dugaan terlibat dalam peredaran narkoba.

Menurut laporan media, Egar ditangkap dengan cara dijatuhkan ke tanah dan diborgol hingga tidak sadarkan diri. Egar dibawa ke rumah sakit di mana dia dinyatakan meninggal.

Organisasi hak asasi manusia melaporkan Egar mengalami memar di tubuhnya. Polisi diduga tidak memberi tahu keluarga Egar bahwa mereka percaya dia adalah pengedar narkoba sampai 28 hari setelah kematiannya. Hingga 10 September, tidak ada indikasi bahwa pihak berwenang telah menyelidiki laporan tersebut atau mengambil tindakan terhadap petugas yang terlibat.

Contoh lain, pada 25 Mei, seorang prajurit berseragam, Joaquim Parera, menyerang seorang karyawan sebuah pompa bensin di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pegawai tersebut menolak memberikan pelayanan kepada Parera karena telah memotong antrean.

Video penyerangan Parera terhadap karyawan pompa bensin itu menyebar di media sosial. Sebuah sesi mediasi antara Parera dan korban diadakan dan militer melaporkan perselisihan telah diselesaikan secara damai.

Namun begitu, militer menegaskan akan tetap menyeret Parera ke pengadilan militer. Namun, hingga 24 November tidak ada kabar terbaru apakah Parera menghadapi hukuman atas insiden tersebut.

Dalam point kurangnya transparansi dalam kasus korupsi, laporan AS menyebutkan bahwa Undang-undang memberikan hukuman pidana untuk korupsi pejabat, tetapi upaya pemerintah untuk menegakkan hukum tidak cukup.

"Ada banyak laporan mengenai korupsi pemerintah sepanjang tahun. Terlepas dari penangkapan dan penghukuman, banyak pejabat, termasuk mantan menteri kelautan dan menteri sosial (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara -red), ada persepsi luas bahwa korupsi tetap mewabah.

LSM mengklaim bahwa korupsi endemik adalah salah satu penyebab pelanggaran hak asasi manusia. Akibat ulah pejabat pemerintahan, banyak individu yang terhambat bisnisnya.

Laporan itu juga menyoroti sistem kerja Komisi Pemberantasan Korupsi, polisi nasional, Unit Kejahatan Ekonomi Khusus angkatan bersenjata, dan Kejaksaan Agung yang seharusnya bisa bersinerji pada kenyataannya koordinasi antara kantor-kantor tersebut tidak konsisten.

Untuk point kelima yaitu intimidasi terhadap LSM, laporan AS menyebutkan, beberapa pejabat telah membuat LSM merasa diawasi dan diintervensi, bahkan diintimidasi.

"Pemerintah Indonesia mengizinkan pejabat PBB untuk memantau situasi hak asasi manusia di negara tersebut, kecuali di Papua dan Papua Barat," tulis laporan itu.

Aparat keamanan dan badan intelijen cenderung mencurigai pengamat HAM asing, terutama yang berada di Papua dan Papua Barat, di mana operasi mereka dibatasi.

Untuk point keenam, tentang diskriminasi dan penyalahgunaan sosial, laporan itu menyoroti definisi soal pemerkosaan yang memberatkan pihak perempuan.

"Undang-undang melarang pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan. (Namun) definisi hukum pemerkosaan hanya mencakup penetrasi paksa organ seksual, dan pengajuan kasus memerlukan saksi atau pembuktian lainnya," tulis laporan itu.

Laporan itu juga menggarisbawahi padangan Indonesia tentang; Pemerkosaan dalam perkawinan bukanlah tindak pidana khusus dalam hukum.

Sumber: RMOL
Editor: Dardani